Bandung, 30 September 2020 – Dengan menghadirkan Prof. Nadirsyah Hosen (Gus Nadir) (Monash University), Eunsook Jung, Ph.D (University of Wisconsin-Madison), Prof. Nina Nurmila, MA, Ph.D (UIN Sunan Gunung Djati Bandung), dan Faizal Pikri, M.Ag (UIN Sunan Gunung Djati Bandung), Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang bekerja sama dengan Indonesian Association for Public Administration (IAPA) Jawa Barat menyelenggarakan “International Webinar” dengan mengusung tema “Civic Participation in Public Policy-Making Process in Three Continents”.
Tergabung dalam webinar tersebut, 296 Participant dari 46 Institusi baik di dalam maupun luar negeri, adapula yang bergabung melalui laman youtube channel (Publica Community), lebih dari 300 Orang. Dekan FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof. Ahmad Ali Nurdin, MA, Ph.D berkesempatan untuk memberikan Welcoming Speech, dan menekankan tentang peran akademisi dalam partisipasi pembuatan kebijakan publik, sekaligus memberikan ucapan selamat datang kepada para pemateri yang berkesempatan hadir. Dalam Opening Remarks, Ketua Jurusan Administrasi Publik, Khaerul Umam, memberikan penekanan bahwa isu gender, HAM dan Keberagaman adalah isu strategis yang seringkali dibahas namun penyelesaian dalam ranah kebijakan seringkali terabaikan.
Pada kesempatan ini pula, Farah Sahirah Zahra (Monash University), selaku Moderator Acara membuka sesi presentasi dengan melontarkan sejumlah pertanyaan, yaitu apakah di negara-negara besar seperti di Amerika Serikat, Australia, dan negara-negara lainnya di Asia juga melakukan hal yang sama ketika akan membuat kebijakan dan bagaimana sebenarnya yang terjadi di sana? Bagaimanakah persoalan partisipasi perempuan dalam isu-isu politik dengan keragaman etnis dan Kebijakan Pemerintah di sana? Apakah pluralitas keberagamaan memberikan pengaruh terhadap hegemoni isu minoritas-mayoritas keagamaan? dan bagaimana keterkaitan hegemoni publik ini dengan isu HAM?
Sebagai materi pembuka, Nadirsyah Hosen mengutarakan tentang proses pembuatan kebijakan publik di Australia yang sangat memperhatikan aspek penggunaan data dan fakta yang valid dan mendukung (Evidence-Based Policy). Selain itu, dosen yang lebih akrab disapa Gus Nadir ini menjelaskan bahwa dalam isu multikulturalisme dan keberagaman, kebijakan publik di Australia sama sekali tidak menggunakan simbol atau preferensi agama, namun demikian Pemerintah sangat memperhatikan betul dan mengakomodir apa-apa yang menjadi kepentingan dan kebutuhan dari para pemeluk agama setempat tersebut.
Dilanjutkan oleh Mrs. Eunsook Jung, yang memaparkan bahwa dari sekian banyak hal yang dapat mempengaruhi proses pembuatan kebijakan publik di Amerika, Faktor Sejarah (History) dan Kepentingan Bisnis (Business Interest) lah yang menjadi faktor penentu, mengalahkan faktor partisipasi dan keterlibatan masyarakat sipil. Sehingga dapat dipastikan bahwa meskipun Amerika adalah negara yang sudah lama menerapkan sistem demokrasi, namun pada praktiknya terjadi sebuah paradoks yang tidak sejalan. Selain itu, dalam isu penegakkan HAM sendiri nampaknya Amerika pun memiliki sejumlah catatan yang tidak menyenangkan, dimana beberapa waktu yang lalu, isu “Black Lives Matter” menjadi trending topic di dunia.
Seirama dengan materi Mrs. Eunsok Jung, Prof. Nina Nurmila menyoroti tentang partisipasi perempuan dalam pembuatan kebijakan publik di Indonesia, Prof Nina, memberi beberapa catatan tentang keterwakilan dan partisipasi perempuan dalam ranah politik dan proses pembuatan kebijakan public di Indonesia yang belum optimal. Beliau menyampaikan data terakhir di 2019, ternyata hanya 20,3% saja keterwakilan perempuan di Parlemen yang seharusnya minimal 30%. Selain itu, beliau juga mengutarakan bahwa akibat minimnya keterwakilan dan partisipasi perempuan di Parlemen, maka berimplikasi pada sulitnya memperjuangkan kebijakan yang pro-perempuan itu sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dari misalnya lambatnya proses pengundangan RUU Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Sebagai penutup, yaitu Faizal Pikri memberikan closing remarks bahwa dalam konteks Indonesia dengan nilai-nilai agama masyarakat yang dimiliki, sebenarnya menjadi kekuatan dan modal tersendiri. Terutama misalnya dengan telah dilengkapinya beragam kebijakan keagamaan di Indonesia saat ini, fungsi utama pendidikan keagamaan baik di sekolah, madrasah, pesantren, dan dunia kampus akan mampu memberikan landasan yang sigap dalam menggugah kesadaran dan mendorong peserta didik untuk dapat melakukan perbuatan yang mendukung pembentukan pribadi beragama yang kuat, hingga mampu mengurai ragam isu-isu keagamaan baik itu di dalam negeri maupun luar negeri. (Admin.AP2020)