Electronic Road Pricing atau ERP adalah sistem yang mengatur lalu lintas dengan menerapkan jalan berbayar di ruas-ruas jalan yang dianggap ramai dan rawan kemacetan. Pada awal tahun 2023 ini rencana penerapan ERP kembali santer terdengar di telinga masyarakat, menyebabkan beragam respon positif dan negatif saling mengisi ruang perdebatan di tengah-tengah masyarakat. Ide penerapan sistem ini sendiri sebetulnya sudah digaungkan sejak hampir 2 dekade lalu, tepatnya pada tahun 2006 oleh Gubernur DKI Jakarta yang pada saat itu dijabat oleh Bang Yos atau Letjen TNI (Purn) Sutiyoso yang terinspirasi dari negara Singapura yang sudah menerapkan sistem ini sejak tahun 1998, namun lain padang lain pula belalang mungkin peribahasa itu cocok digunakan untuk menggambarkan cerita panjang perjalanan sistem ERP di Indonesia karena sejak digagas tahun 2006 hingga hari ini masih terlalu banyak pertimbangan dan permasalahan sehingga sistem ini masih terus berkutat dalam tataran perumusan, dari Bang Yos hingga Anies Baswedan penerapan sistem ERP masih sebatas angan-angan.
Uji Coba penerapan sistem Electronic Road Pricing atau ERP pernah dilakukan pada tahun 2014, tapi hasilnya? Masih ditemukan banyak masalah dalam penerapan sistem rekayasa lalu lintas ini, mulai dari keterbatasan alat; lemahnya sinyal wireless; perbedaan karakter plat nomor; dan masih banyak lagi masalah lain yang membuat uji coba ini akhirnya dihentikan. Melihat banyak kekurangan dalam penerapan tersebut, penulis merasa tidak ada urgensi untuk pemerintah DKI Jakarta menerapkan kebijakan sistem ERP secara terburu-buru.
Saya tentu memahami bahwa rencana penerepan sistem ini memiliki tujuan utama untuk menekan angka kemacetan yang sudah menjadi penyakit di Jakarta, tentu hal tersebut merupakan tujuan yang baik dan penulis setuju bahwa kemacetan di Jakarta haruslah di tangani dengan serius, akan tetapi apakah ERP adalah solusi yang tepat? Menurut saya tidak untuk saat ini, kenapa? Alasan utamanya satu, belum ada win-win solution dari permasalahan yang ditimbulkan oleh penerapan sistem ERP ini. Salah satu masalah yang saya soroti adalah sistem transportasi publik yang belum memadai, klise? Ya tapi memang hal itu menjadi pr besar yang harus diselesaikan sebelum sistem Electronic Road Pricing ini diterapkan, menurut saya kita tidak bisa meniru sebuah sistem secara parsial atau setengah-setengah, bila kita terinspirasi oleh singapura untuk menerapkan sistem jalan berbayar maka kita harus terinspirasi oleh upaya mereka untuk memperbaiki dan menyediakan transportasi publik yang berkualitas, tebukti bahwa singapura menjadi salah satu negara yang memiliki sistem transportasi umum terbaik di dunia. (McKinsey, 2019)
Ada tiga indikator dalam peningkatan kualitas transportasi publik yaitu Integrasi, Jangkauan, dan Jumlah Pengguna, kabar baiknya dalam beberapa tahun terakhir pemerintah provinsi DKI Jakarta terlihat sudah melakukan upaya perbaikan kualitas transportasi publik dengan melakukan integrasi pada beberapa jenis moda transportasi yang ada di Jakarta baik itu KRL, MRT, TransJakarta, JakLingko, dll. Tapi pemerintah provinsi DKI Jakarta juga masih memiliki tugas untuk membenahi transportasi publik terutama dalam aspek Jangkauan dan Jumlah Penggunaan. Menurut saya memperbaiki hal-hal di atas lebih masuk akal untuk dilakukan saat ini, mengingat kebijakan penerapan ERP bukan hanya bertujuan untuk mengurai kemacetan tetapi mendorong masyarakat untuk beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum, yang mana hal tersebut mustahil terjadi apabila kualitas transportasi publiknya tidak baik.
Bila kita berkaca pada waktu, sudah sangat terlambat bila kita masih mewacanakan penerapan ERP namun bila kita berkaca pada situasi dan kondisi masyarakat hari ini saya rasa cukup bijak untuk menunda penerapan sistem ERP. Sehari sebelum tulisan ini dibuat terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh Serikat Ojek Online Jakarta yang menyuarakan penolakan mereka terhadap wacana penerapan ERP di Jakarta, aspirasi mereka mempunyai landasan yang cukup masuk akal yaitu “ruas-ruas jalan yg direncanakan akan masuk dalam daftar jalan berbayar adalah jalan artileri yang melewati pusat-pusat kegiatan ekonomi, hal tersebut memukul ribuan driver ojek online karena banyak dari customer mereka adalah pelaku ekonomi di daerah yang dilewati jalan berbayar sehingga hal tersebut menyulitkan driver karena tidak sebanding dengan apa yang mereka dapatkan” untungnya aspirasi itu didengar langsung oleh pihak terkait sehingga mereka memutuskan untuk memberikan pengecualian terhadap ojek online, meminjam istilah bung Jumhur Hidayat bahwa ERP bagi masyarakat dengan kondisi ekonomi menegah ke bawah berarti “Electronic ROB People” yang artinya perampokan uang rakyat secara elektronik akan menimbulkan kecemburuan sosial yang berpotensi menciptakan gesekan diantara masyarakat karena merasa ada diskriminasi dalam penggunaan jalan raya, hal itu semakin mempertegas keyakinan saya bahwa belum saatnya bagi kita menerapkan sistem ERP karena masih banyak hal yang harus diselesaikan dan apabila sistem ERP ini diterapkan hari ini tentu lebih banyak merugikan masyarakat dan entah siapa pihak yang diuntungkan.
Kondisi ini mengingatkan saya pada satu kisah dalam buku The Geography of Bliss karangan Eric Weiner, dimana dalam salah satu ceritanya dikisahkan ada seorang pemuda dari desa yang berjalan menuju ke arah pusat kota namun di tengah jalan pemuda desa tersebut menemui bahwa jalan utama sedang diperbaiki dan tidak bisa dilewati, pemuda tersebut lantas meminta pemerintah setempat untuk memberikan jalan alternatif dari desa ke kota tapi permintaan tersebut ditolak dan pemerintah lebih memilih untuk memberi bantuan pada si pemuda dan keluarganya dengan memasok bahan-bahan untuk dimasak. Dari kisah tersebut saya menangkap pelajaran bahwa bagi pemerintah yang punya tanggung jawab memenuhi kebutuhan masyarakat tidak boleh bertindak semaunya, bila kita tidak bisa memenuhi keinginan masyarakat maka harus ada pilihan alternatif yang diberikan agar kebuthannya tetap terpenuhi. Oleh karena itu dalam proses perumusan kebijakan, harus betul-betul melibatkan serta mendengar masyarakat dan pihak-pihak yang terkait, keterlibatan mereka harus bersifat substantif bukan hanya formalitas agar kebijakan yang dihasilkan tidak merugikan siapapun.
Karena banyak cara untuk menekan angka kemacetan, saya berharap pemprov DKI Jakarta dapat bijak agar tidak memberlakukan sistem ERP untuk saat ini, lebih baik anggaran yang ada digunakan untuk perbaikan dan peningkatan aspek-aspek pendukung seperti layanan transportasi publik, setelah itu terpenuhi barulah kita bisa bicara untuk menerapkan ERP di Indonesia.
Oleh: Muhammad Arya Wira Putra Darmawan (Mahasiswa Angkatan 2020)