“Aku lelah, bebanku saat ini sangatlah berat. Merintih walau tak bersua, menangis walau tak berurai air mata. Sudahlah cukup dengan segala hal yang membuatku semakin tak berdaya. Kau perlu tahu Ibu kota mu sudah terlalu tua untuk menanggung hiruk pikuk keramaian Kota sampai Ia tak pernah tertidur tenang. Kemacetan, Banjir, Udara yang sudah tercemar sangat parah,krisis air bahkan berjuta – juta orang selalu berdatangan hanya untuk mendapatkan apa yang dijanjikan oleh penguasa negeri ini tentang terwujudnya sila ke 5. Tetapi disamping itu, Aku memang sudah lebih maju dibanding kota – kota di Bumi Pertiwi ini, sarana dan prasarana infrastuktur yang sudah memadai, gedung – gedung yang menjulang tinggi, teknologi informasi yang sudah maju, transportasi termasuk MRT yang sudah lebih dahulu ada dibanding kota lain, pusat ekonomi dan bisnis serta Masyarakatnya yang sudah modern. Namun hal itu menimbulkan Kesenjangan Sosial yang sangat kentara sekali dengan Kota atau Kabupaten di Negeri ini. Sehingga, mungkin Aku harus meninggalkan Jakarta atau tetap bertahan sebagai Ibu kota ?”
Jakarta, atau sebutan lain ialah Sunda Kelapa dan Batavia. Ibu kota Indonesia yang sebentar lagi akan dipindahkan ke Kalimantan oleh Presiden RI Ke- 6, dengan sejumlah alasan dan tujuan yang sudah dikaji beberapa tahun terakhir. Salah satunya mewujudkan Indonesia Sentris. Dengan tujuan mendorong terciptanya kesejahteraan rakyat yang adil serta merata, mempercepat proses pembangunan dalam berbagai bidang sekaligus menjaga persatuan bangsa. Menurut Penulis, pemindahan Ibu Kota negara, Jakarta ke Penajem Paser Utara, Kalimantan merupakan keputusan yang sangat berani. Pasalnya, Presiden Soekarno telah menggagas rencana pemindahan Ibu Kota namun hanya berujung dengan wacana. Indonesia belum pernah menentukan dan merancang sendiri ibu kotanya. Bukan hanya itu jawaban dari pertanyaan “Mengapa Ibu kota perlu pindah ? “ juga ditopang oleh berbagai penjelasan mengenai fakta maupun data yang telah dihimpun dari berbagai jenis sumber. Kementrian PPN/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah mempublish serta mengadakan diskusi publik secara nasional mengenai perencanaan pemindahan Ibu Kota dengan didukung oleh sejumlah hasil dari kajian yang telah mereka lakukan.
Padatnya penduduk Indonesia yang terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan presentase sebesar 57% menjadi salah satu alasan mengapa Ibu Kota Indonesia perlu pindah. Hal ini menjadikan Pulau Jawa memiliki penduduk tertinggi dibandingkan dengan daerah – daerah lain di Indonesia dengan kepadatan penduduk mencapai 15.663/km2 serta peringkat ke – 3 terpadat di Dunia. Dengan demikian, menyebabkan kemacetan yang semakin parah dan sulit diatasi serta sempitnya ruang gerak masyarakat sehingga menambah masalah – masalah baru seperti pemukiman warga yang mendekati sungai karena sempitnya lahan dan biaya yang sangat besar untuk membangun rumah ataupun bangunan lainnya. Menurunnya permukaan tanah, permukaan air laut naik serta sampah yang semakin banyak. Beberapa hal tersebut hanya sebagian masalah yang timbul akibat dari padatnya penduduk di Pulau Jawa khususnya, Jakarta. Akan tetapi, dengan adanya rencana pemindahan ini, hanya sebagian kecil penduduk yang akan dipindahkan ke Kalimantan dalam artian hanya ASN atau pegawai pemerintah saja yang pindah. Memang hal itu akan mengurangi kepadatan penduduk DKI Jakarta, namun Penulis berpendapat bahwa hal ini masih belum relevan. Karena sebagian penduduk Jakarta dihuni oleh pendatang dari berbagai daerah dengan tujuan utama yakni perdagangan, bisnis maupun pekerjaan.
Selanjutnya, kegiatan perekonomian masih terkonsentrasi di Pulau Jawa tercermin dari share PDRB dengan presentase 58,49%, share PDRB Jabodetabek terhadap PDB Nasional 20,85%. Serta Pertumbuhan Ekonomi di Pulau Jawa mencapai 5,6% lebih tinggi dibandingkan dengan luar pulau Jawa (Sumber: Badan Pusat Statistik,2018). Maka hal tersebut menimbulkan kesenjangan ekonomi antara Pulau Jawa dan luar Jawa. Dengan pernyataan tersebut pastinya setuju sekali apabila salah satu faktor mengapa ibu Kota harus pindah, dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang pesat di Jakarta menimbulkan kecemburuan akan daerah lain yang tertinggal, Namun apakah dengan memindahkan ibu kota adalah solusi satu-satunya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara merata? Tidak. Perlu diketahui bahwasanya untuk memeratakan pembangunan serta pertumbuhan ekonomi ada beberapa cara atau solusi seperti mengoperasionalisasikan rencana Tata ruang, mengembangkan wilayah – wilayah perbatasan serta fokus terhadap pengembangan wilayah tertinggal dan terpencil.
Krisis ketersediaan air di Pulau Jawa terutama DKI Jakarta dan Jawa Timur juga menjadi alasan mengapa Ibu Kota harus dipindahkan. Bahkan pada tahun 2040 nanti Pulau Jawa diprediksi akan mengalami ketersediaan air pada level absolute scarcity atau sangat langka <500 (Sumber: KLHS RP JMN, 2019). Rawan bencana juga menjadi point penting yang telah dikaji untuk bahan pertimbangan pemindahan Ibu Kota ini. Ancaman gempa, banjir yang terjadi setiap tahun serta tercemarnya udara Jakarta yang semakin parah dan akan memakan korban jiwa bagi penduduknya sendiri. Itulah sebagian alasan yang telah dipaparkan oleh Kementrian PPN/Bappenas dalam perencanaan dan rancangan pemindahan Ibu Kota.
Pemerintah telah mempersiapkan banyak hal untuk mewujudkan Pemindahan Ibu Kota. Optimisme sang Presiden RI ke 6 ini mengenai pemindahan ibu Kota agar dapat mendorong pembangunan, ekonomi, dan pendidikan merata yang sesuai dengan visi Indonesia Sentris dinilai akan berhasil. Lalu bagaimana dengan kemungkinan wacana ini berujung tidak berhasil melainkan malah memindahkan masalah Jakarta ke Kalimantan?. Presiden Joko Widodo sendiri telah memberikan keterangan pers terkait rencana pemindahan Ibu Kota Negara di Istana Negara, Senin 26 Agustus 2019 lalu dengan didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla serta jajaran Para menteri, Kepala Bappenas dan Gubernur DKI Jakarta. Presiden Jokowi secara resmi mengumumkan keputusan pemerintah untuk memindahkan Ibu Kota negara ke Kalimantan Timur. Timeline pemindahan Ibu kota negara rencananya dilakukan secara bertahap dalam lima tahun kedepan. Tahun 2024 menjadi awal Pemindahan Ibu Kota negara baru. Namun, timeline pemindahan ibu kota tersebut menurut Penulis dinilai janggal, karena pemindahan tersebut dilaksanakan pada tahun terakhir Presiden Joko Widodo menjabat. Mengapa tidak dari sekarang atau pada tahun pertama beliau menjabat sebagai Presiden RI ke 7? Lalu setelah masa jabatan nya habis, bagaimana jika pemindahan Ibu Kota tersebut belum terlaksana dengan baik. Tentu ada penerusnya, namun dipastikan akan ada perubahan – perubahan yang menyebabkan terhambatnya pelaksanaan pemindahan ibu Kota tersebut.
Di samping itu, perlu diperhatikan juga besaran biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk memindahkan dan membangun Ibu Kota baru. Ditaksir dari akun instagram resmi Bappenas bahwa kisaran biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp. 466 Triliun. Dengan Rincian skema pembiayaan dari APBN senilai Rp. 89,4 T/19,2% untuk pengadaan lahan, kawasan pemerintahan, dan pertahanan keamanan serta penyediaan ruang terbuka hijau. Rp. 253,4 T/54,4% dari KPBU untuk pembangunan sarana dan prasarana dasar, rumah dinas ASN/TNI/Polri dan Lembaga Pemasyarakatan. Rp. 123,2 T/26,4% dari BUMN/BUMD/Swasta untuk pembangunan kawasan permukiman, perguruan tinggi, dan lembaga pendidikan swasta, sarana kesehatan swasta, pusat perbelanjaan dan Industri MICE. Biaya yang sangat besar sekali, dan merupakan pemborosan yang sangat signifikan, mengapa biaya yang sebesar itu tidak digunakan untuk kepentingan lain yang lebih penting. Karena PR Pemerintah sendiri masih banyak dan belum teratasi. Selain itu, pengembangan 6 wilayah Metropolitan di Luar Jawa diantaranya Medan, Palembang, Banjarmasin, Denpasar, Makassar serta Manado guna mendorong peran kawasan Strategis Nasional (KSN) Perkotaan/ Metropolitan dalam mendukung pertumbuhan wilayah/pulau dan pengembangan rencana investasi sektor jasa strategis bagi metropolitan baru juga dinilai sebagai strategi pemindahan Ibu Kota. Dalam hal tersebut bisa saja ke enam wilayah tersebut dikembangkan tanpa perlu adanya pemindahan Ibu Kota.
Namun, Pemindahan Ibu Kota ini menimbulkan polemik diantara Masyarakat Indonesia maupun Pemerintah sendiri. DKI Jakarta akan tetap macet, krisis air serta polusi udara yang sangat buruk meski Ibu Kota dipindahkan ke Kalimantan. Pasalnya, Pemerintah hanya memindahkan pusat pemerintahannya saja dalam artian kegiatan pemerintahan beserta aparatur sipil negara (ASN) hanya membebani Jakarta sekitar 10% karena sebagian besar penduduk yang tinggal di Jakarta berhubungan dengan bisnis bukan pemerintahan. Ujar pengamat perkotaan, Rendy A. Diningrat. Serta menurut Sherly Annavita selaku Millenial Influencer juga mengungkapkan ketidaksetujuannya Ibu Kota dipindahkan karena akan memakan biaya yang sangat besar dan lebih baik digunakan untuk kepentingan yang belum terlaksana dengan baik seperti pemerataan sarana pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. Tetapi adapula Masyarakat yang sangat setuju dengan perencanaan pemindahan Ibu Kota. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa Jakarta sudah tidak layak menjadi Ibu Kota Negara, kemacetan, polusi udara hingga berkurangnya penduduk menjadi alasan mengapa sebagian masyarakat setuju tentang rencana pemindahan Ibu Kota. Serta dari berbagai negara yang sudah berhasil memindahkan Ibu Kota seperti New Zeland dan Korea Selatan menjadi acuan optimisme jika Indonesia sendiri akan berhasil memindahkan ibu kota.
Dengan demikian pemindahan Ibu Kota akan tetap dilaksanakan serta disiapkan dengan matang dengan beberapa pertimbangan dan kajian yang lebih mendalam serta memperhatikan hal – hal yang perlu disiapkan. Jika memang hal ini merupakan solusi yang terbaik dan bukan malah menimbulkan masalah baru, maka semoga tidak ada hambatan dalam pelaksanaannya kemudian dapat terwujud dengan sebagaimana mestinya, tentunya ibu kota siap meninggalkan Jakarta.
Oleh:
Supi Ainul Lutpi
(Mahasiswa Angkatan 2018)