Seperti yang kita ketahui bahwa kebijakan Electronic Road Pricing merupakan sebuah putusan terkait pembatasan lalu lintas kendaraan bermotor secara elektronik pada ruas jalan, kawasan dan waktu tertentu yang bertujuan untuk mengantisipasi kemacetan khususnya di daerah DKI Jakarta. Kebijakan ini akan dilakukan pada beberapa ruas jalan yang akan dikenakan biaya bagi pengendara yang melewati ruas lintas jalan tersebut. Berdasarkan kebijakan pemerintah DKI Jakarta telah mengusulkan tarif kisaran antara Rp 5.000 sampai dengan Rp 19.900 untuk satu kali melintasi ruas jalan. Merujuk pada keputusan gubernur terdapat beberapa kriteria untuk menilai suatu kawasan yang dapat diukur sebagai suatu batasan penerapan Electronic Road Pricing, Diantaranya mempunyai tingkat volume lebih tinggi pada lalu lintas kendaraan bermotor dengan kapasitas jalan serupa dengan 0,7 pada jam puncak ruas jalan, mempunyai paling sedikit 2 lajur dalam setiap jalur lalu lintas, hanya mampu dilalui oleh pengendara kendaraan bermotor kecepatan 30 km/jam, dan adanya penyediaan pelayanan angkutan umum terhadap trayek yang berlandaskan aturan standar pelayanan minimal.
Sebenarnya wacana kebijakan ERP ini telah direncanakan sejak tahun 2006 pada masa kepemimpinan gubernur pak Sutoyo. Namun hal tersebut menuai pro kontra sehingga di tahun 2023 ini pasca gubernur Anies Baswedan membuka kembali pembahasan mengenai ERP. Mayoritas kalangan masyarakat masih membuka lebar-lebar kritikan apakah kebijakan ini akan membantu solusi kemacetan atau kurang tepat, jika kebijakan ini dapat menjadi solusi maka masyarakat akan merasa sangat senang namun kembali lagi apakah ERP ini akan merugikan atau menguntungkan pengguna jalan. Menilai dari komposisi laju kendaraan dan muat kendaraan yang masih terdapat permasalahan pada simpang-simpang jalan khususnya kendaraan bermotor. Sebelum dilakukannya kebijakan ERP ini seharusnya pemerintah memperhatikan beberapa hal penting yang harus dilaksanakan seperti merancang tema utama dari kebijakan ERP pada suatu sub-sub tema utama yang akan mempermudah dalam mengimplementasikan nya, serta harus adanya desakan Rancangan peraturan daerah dari DPRD dan Provinsi agar mengeluarkan pembahasan terlebih dahulu terhadap kementerian perhubungan untuk menyelesaikan peraturan pemerintah tentang manajemen perencanaan dan rekayasa lalu lintas sebagai suatu landasan dalam penerapan kebijakan sistem jalan berbayar (ERP) ini. Jika kita melihat komparasi dari negara maju salah satunya negara Singapura, yang mana mereka telah menerapkan kebijakan Electronic Road Pricing ini sejak tahun 1975. Oleh karena itulah negara ini yang dapat menjadi contoh bagi negara lain khususnya di Indonesia. Negara singapura telah berhasil mengurangi angka kemacetan lalu lintas meskipun populasi pertumbuhan mobil terus meningkat. Prosedur penerapan kebijakan ERP di Singapura hampir sama dengan wacana yang akan diimplementasikan di Indonesia, namun ada sedikit catatan yang mungkin dapat menjadi bahan evaluasi untuk segera merilis wacana ini di Indonesia. Singapura menetapkan prosedur biaya operasional yang lebih tinggi pada jam sibuk sedangkan pada jam-jam biasa mereka menetapkan biaya standar berdasarkan peraturan yang berlaku. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi kemacetan baik pada waktu sibuk maupun pada waktu normal.
Dibalik wacana kebijakan Electronic Road Pricing di ibukota Jakarta, tentunya masyarakat menilai adanya pro kontra dalam aspek keadilan sosial. Karena kebijakan ini dapat dilihat dari sudut pandang masyarakat bahwa adanya ketakutan akan menjadi beban pada kalangan menengah yang mana selain kebutuhan dan pajak yang selalu dibayarkan namun tarif ERP ini pun harus dipikirkan oleh mereka. Selain itu meskipun banyak pula pihak yang mendorong dengan adanya kebijakan ini maka akan meminimalisir tingkat pencemaran udara karena populasi transportasi pribadi berkurang, tetapi aksebilitas transportasi umum seperti bus trans Jakarta, MRT dan KRL masih belum merata terutama untuk para pekerja, anak-anak sekolah, dan lain lain. Oleh karena itu perlu adanya langkah strategis yang harus dilaksanakan oleh pemerintah setempat dalam penerapan Electronic Road Pricing ini. Melihat informasi dari badan pusat statistik tahun 2021 angka usia produktif di Indonesia khususnya di kota Jakarta lebih tinggi dibanding dengan usia tua. Meskipun demikian pemerintah harus tetap melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar tidak ada kesimpangsiuran informasi, serta kejelasan maksud dan tujuan kebijakan ini diterapkan. Selain itu pemerintah harus mempersiapkan dari segi ekonomi apakah setiap pendapatan per kapita masyarakat sudah tercukupi, dan harus memikirkan dampak yang akan terjadi pada para pengemudi ojek online, driver pengantar makanan dan semacamnya.
Jika kita lihat di negara Singapura meskipun adanya kebijakan ERP ditetapkan, namun aspek ekonomi di negara ini jauh lebih baik karena di setiap kota nya dapat melebihi ruang lingkup setiap kota-kota yang ada di provinsi Jakarta. Lantas apakah negara berkembang seperti Indonesia dapat menerapkan kebijakan elektronik berbayar (ERP) ini dengan baik? Menurut pandangan saya kebijakan Electronic Road Pricing ini merupakan sebuah pengembangan sistem yang mampu mengubah dampak positif terkait problematika di kawasan lalu lintas. Namun hal ini pula masih diragukan oleh sejumlah kalangan masyarakat menengah, terutama dalam aspek ekonomi dan efektivitas dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi tidak salahnya pemerintah mengemukakan kembali wacana ini, dengan syarat merencanakan segala prosedur dengan matang dan tidak menimbulkan pengaruh negatif bagi publik. Selain strategi yang telah dijelaskan sebelumnya, ada beberapa hal yang sebaiknya aplikasikan antara lain pemerintah harus benar-benar mengoptimalkan penggunaan transportasi umum dengan memberikan subsidi bagi kalangan masyarakat bawah seperti tarif yang dikeluarkan dalam penggunaan transportasi umum lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat kalangan menengah keatas. Adanya pengelolaan aplikasi yang dapat memberikan jadwal keberangkatan transportasi umum seperti bus dan sebagainya, adanya subsidi sepeda motor elektrik bagi pengemudi ojek online sehingga ditengah kebijakan ini diterapkan mereka masih tetap bekerja dengan kendaraan tersebut karena tidak akan menyebabkan pencemaran udara dan kemacetan yang terlalu tinggi, serta adanya sosialisasi dan simulasi percobaan kebijakan jalan berbayar sebelum kebijakan ini benar-benar dirilis dan menjadi kebijakan jangka panjang.
Demikianlah rencana kebijakan Electronic Road Pricing yang menuai pro kontra, diharapkan mampu membawa perubahan progresif dengan cara berdemokrasi yang saling membersamai antara pemerintah dan masyarakat, disamping munculnya beban tersendiri namun disisi lain pemerintah pun harus lebih mematangkan kembali regulasi yang tidak merugikan kedua belah pihak.
Oleh: Cinta Amalia Putri (Mahasiswa Angkatan 2020)