Perdebatan Antara Pemerintah dan Pedagang Thrifting, Sebuah Solusi Yang Tepat atau Menjadi Boomerang Untuk Negara?
Istilah impor bukanlah hal baru bagi masyarakat Indonesia. Impor merupakan kegiatan untuk memasukkan barang dari negara satu ke negara lainnya. Sebagai salah satu negara berkembang Indonesia masih melakukan kegiatan impor tersebut, adanya kegiatan ini menyebabkan pengaruh terhadap pertumbuhan perekonomian negara. Produk impor yang masuk ke dalam negara adalah keniscayaan. Hal itu ditimbulkan karena adanya kemungkinan komoditi yang dibutuhkan tidak semua tersedia di negara asal, kalaupun yang dibutuhkan tersedia bisa saja tidak mencapai jumlah yang dibutuhkan karena hal inilah yang menyebabkan sebuah negara melakukan kegiatan impor.
Maraknya produk impor yang masuk ke Indonesia membuat aparatur negara membuat kebijakan pada barang yang di impor. Salah satu kegiatan impor yang kebijakannya sedang menjadi topik pembicaraan di ranah masyarakat saat ini yaitu jual beli pakaian bekas atau dikenal dengan thrifting dimana kegiatan ini sudah ada sejak tahun 1760-1840an. Baru-baru ini kegiatan thrifting kembali menjadi sorotan, dikarenakan pemerintah sedang menindaklanjuti terkait penjualan pakaian thrifting. Dalam peraturan menteri perdagangan nomor 40 Tahun 2022 terkait perubahan atas peraturan menteri perdagangan no 18/2021 tentang barang dilarang ekspor dan barang dilarang impor.
“Sudah saya perintahkan untuk mencari betul dan sehari dua hari sudah banyak yang ketemu. Itu mengganggu industri tekstil dalam negeri, sangat mengganggu” ujar Presiden Joko Widodo saat menghadiri Pembukaan Business Matching Produk Dalam Negeri. Terkait dengan adanya instruksi langsung dari Presiden Republik Indonesia perihal larangan pakaian thrifting, mulai munculah asumsi-asumi dari masyarakat khususnya para pedagang pakaian bekas. Kementrian perdagangan melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PTKN) Moga Simatupang dikutip dari www.prfmnews.id mengatakan akan terus meningkatkan sinergisitas dan pengawasan dengan kementrian/lembaga untuk menjalankan amanat UU No.17 Tahun 2014 Tentang Perdagangan serta Amanat UU No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terutama terkait masuknya barang impor atau ilegal.
Berlandaskan UU untuk membasmi masuknya pakaian impor ilegal ke Indonesia, namun benarkah hal itu untuk menjalankan amanat sesuai dengan UU yang telah ditetapkan? atau mungkin menjerumuskan para pedagang sehingga kehilangan sumber penghasilan? Nyatanya data yang dipaparkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Indonesia seringkali mengimpor pakaian bekas dan paling banyak berasal dari China. Pada tahun 2019 Impor pakaian dari China senilai 64.660 ton dan sebanyak 417 ton adalah pakaian bekas, tahun 2020 BPS mencatat total keseluruhan impor pakaian jadi dari China sebanyak 51.790 ton dan pakaian bekas impor terbilang hanya 66 ton atau 0,13% dari impor pakaian jadi China, selanjutnya pada tahun 2021 impor pakaian dari China senilai 57.110 ton dan impor pakaian bekas hanya 8 ton atau 0,01% dari impor pakaian jadi asal China. Data dari BPS memperlihatkan bahwa Indonesia masuk dalam kategori negara yang rutin impor dari China, meskipun data yang tercatat masuk ke kategori legal karena berasal dari Bea Cukai, adakah secercah harapan untuk kembali dipikirkan terkait larangan thrifting karena kenyataannya jumlah pakaian impor dari China lebih mendominasi pasar di Indonesia, sehingga produk lokal yang dijual oleh pedagang kalah saing dengan produk-produk China dan UMKM mengalami kerugian. Kepedulian serta peran pemerintah diperlukan sebagai wadah penyedia layanan publik dalam mempertimbangkan keputusan terkait pembuatan suatu kebijakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran warga negara.
Proses menentukan suatu kebijakan tidak serta merta dilakukan sembarangan, perlu dikalkulasikan dan dirundingkan agar semua pihak yang terlibat memperoleh sesuai proporsi atau haknya, dalam artian berpacu kepada pancasila yang ke lima tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tahapan dari pembuatan kebijakan publik bertujuan untuk mempermudah proses pembuatannya dengan cara identifikasi masalah dan kebutuhan, perumusan tujuan kebijakan, membangun dukungan publik, dan sebagainya. Dari berbagai tahapan pembuatan kebijakan publik, masyarakat memiliki peran keterlibatan untuk ‘bersuara’ dalam menetapkan suatu kebijakan. Partisipasi masyarakat yang mendukung membuat perumusan tujuan kebijakan dapat terlaksana sesuai dengan rencana, namun disayangkan tidak semua masyarakat mengerti bagaimana cara untuk berpartisipasi mengenai kebijakan. Disinilah masyarakat perlu ditekankan bahwa terdapat unsur teknologi yang bisa membantu mereka agar menyuarakan hak nya. Saat ini dunia digital semakin luas dan modern dikarenakan sudah tersedia platform yang bisa diakses masyarakat untuk memberikan pendapat, saran beserta kritik kepada pemerintah sebagai tempat penyedia layanan publik. Kondisi ini bisa saja dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berpartisipasi menyuarakan ‘kegelisahan’ terkait kebijakan larangan pakaian thrifting melalui dunia digital.
Terlepas dari pemanfaatan dunia digital untuk memberikan komentar. Realitanya sudah terjadi aksi protes dari implementasi kebijakan larangan pakaian thrifting, salah satu contohnya yaitu pasar di Kota Bandung, Jawa Barat yang terkenal dengan Surga Thrift Shop yaitu Pasar Cimol Gedebage, tempat ini terpaksa menutup kios-kios mereka sebagai bentuk dari ketidaksetujuan terhadap peraturan dan mengikuti arahan dari petugas keamanan sekitar. Pasar ini adalah sarana untuk pedagang mecari pundi-pundi penghasilan serta mempromosikan dagangan yang mereka jual. Pada tahun 2021 Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan memusnahkan pakaian thrifting sekitar Rp 9 Miliar dan pada tanggal 21 Maret 2023 Polda Jabar serta Kemendag mengamankan sekitar 200 ball pakaian thrifting yang rencananya akan dimusnahkan, bukan hanya pakaian bekas yang dimusnahkan di Kota Bandung tetapi Kemendag juga telah memusnahkan 730 ball pakaian, sepatu, dan tas bekas senilai Rp10 Miliar di Pekanbaru, serta di daerah Sidoarjo, Jawa Timur senilai Rp10 Miliar.
Jika diamati imbas yang diperoleh dari kebijakan larangan trifhting di Pasar Cimol Gedebage yaitu tidak ada stok barang ke pedagang, gerbang Pasar Cimol Gedebage ditutup oleh petugas keamanan setempat, serta terdapat sekitar 1.100 pedagang yang terdampak. Keterlibatan antara pemerintah dan pedagang perlu ditekankan pada aspek kontak sosial dan komunikasi sosial, karena bisa menjadi suatu masalah atau bahkan ‘musibah’ yang diterima oleh para pedagang thrifting. Ketika barang dagangan mereka dimusnahkan, apakah pemerintah mempertimbangkan secara matang terkait solusi yang akan diberikan ke para pedagang untuk mengembalikan kerugian yang dialami? Karena bisa jadi bisnis thrifting ini adalah sebuah keuntungan bahkan satu-satunya sumber mata pencaharian para pedagang dan paradoks yang terjadi membuat penghasilan para pedagang thrifting menurun. Atau mungkin sebenarnya pemerintah sedang menyelesaikan masalah tanpa solusi? ya, para pedagang sudah tidak bisa berjualan seperti biasanya dan belum tentu terdapat jaminan lapangan perkerjaan yang tersedia untuk menyambung hidup mereka. Pengangguran bisa saja meningkat dan jika dilihat dari aspek sosial akan menimbulkan tindakan kriminal serta pada akhirnya masalah tidak kunjung usai di lingkungan masyarakat. Perlu ditegaskan bahwa pemerintah memiliki ‘PR’ untuk mempertimbangkan kebijakan larangan pakaian thrifting, karena bisa saja membawa suatu perubahan yang signifikan dalam dunia perdagangan atau kemungkinan menjadi boomerang terhadap negara.
‘Dagang barang bekas itu boleh, yang tidak boleh adalah ilegalnya yang masuk lewat jalan-jalan tikus’ ujar Menteri Perdagangan Republik Indonesia Zulkifli Hasan pada salah satu akun media sosial (instagram @zul.hasan). Wah, dari ucapan yang dilontarkan oleh Menteri Perdagangan terkait ‘jalan-jalan tikus’ bisa dikatakan masih terdapat oknum yang mencari celah untuk memperoleh keuntungan dari impor pakaian bekas. Jika pemerintah sudah menjalankan amanat sesuai Undang-Undang tetapi masih banyak oknum nakal yang menyelundupkan pakaian bekas sehingga masuk kategori ilegal, pantaskah proses birokrasi di Indonesia dipertanyakan? Melirik banyaknya media yang memberitahukan bahwa pakaian bekas yang dimusnahkan jumlahnya sampai milyaran rupiah, salah satu alasan pemerintah memusnahkan pakaian bekas selain karna ilegal yaitu supaya masyarakat terhindar dari penyakit. Apabila di telaah kembali, kalaupun alasannya untuk kesehatan masyarakat mengapa cara memusnahkan pakaian bekas dengan cara dibakar? Sehingga menyebabkan polusi serta kemungkinan menularkan penyakit lewat udara. Seharusnya kita melindungi alam bukan merusak alam.
Thrifting bisa diminimalisir supaya tidak mengganggu industri tekstil dengan cara menciptakan ruang yang aman dan jelas dengan tujuan untuk melindungi UMKM serta diatur secara tertata dan
‘dilirik’ agar pemerintah bisa mempertimbangankan kembali terkait kebijakan ini. Karena jika ditelisik lebih dalam masyarakat merasa diuntungkan dengan bisnis pakaian bekas, selain murah pakaian yang diperjualbelikan tersebut adalah barang branded. Barang branded atau new brand harganya sangat jauh berbeda ketika masyarakat menjual/membeli barang second atau bekas, maka tak heran banyak masyarakat yang menggandrungi pakaian bekas yang branded. Pakaian thrifting yang ‘bermerek’ dan paling diminati oleh masyarakat antara lain seperti dress, atasan (blus, kemeja dan baju kaos), celana, outer, dan sebagainya.
Dengan berbagai jenis pakaian yang dijual membuat daya tarik tersendiri, sehinga diminati oleh masyarakat. Maka dari itu usaha thrifting ini memiliki dampak positif terhadap peningkatan daya kreatifitas masyarakat, sebagai salah satu contohnya yaitu seorang mahasiswa yang mencari sampingan dengan memanfaatkan media sosial untuk berjualan pakaian bekas di e-commerce seperti shopee atau instagram.
Oleh: Widya Zammina Sari (Mahasiswa Angkatan 2021)