Penegakan Hukum Terhadap Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa lalu yang Berat untuk Ditegakan

Pendahuluan
Berbicara mengenai HAM tentunya tidak dapat dipisahkan dengan peristiwa-peristiwa kelam masa lalu yang menghiasi sejarah perjalanan negara Indonesia. Pendekatan keamanan dan kestabilan yang menjadi fokus utama pada era Orde Baru telah mengakibatkan banyak terjadinya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintahan yang bersifat militeristik, beberapa dari tindakan-tindakan tersebut terkategorikan sebagai pelanggaran HAM yang berat. Meskipun tidak menutup kemungkinan pada era Orde Lama dan era Reformasi terjadi pelanggaran HAM berat, tetapi yang selalu menjadi buah bibir di masyarakat adalah peristwia-peristiwa pelanggaran HAM semasa Orde Baru. Misalnya, Kasus Penembakan Misterius 1982-1985, Kasus Penculikan Aktivis 1997-1998, Tragedi Trisakti-Semanggi 1998, Kasus Kerusuhan Mei 1998, dan Peristiwa 1965. Peristiwa-peristiwa kemanusiaan tersebut menjadi isu yang strategis tentunya bagi kepentingan elit politik pada saat menghadapi masa-masa peralihan kepemimpinan di Indonesia. Terbukti sejak dahulu, isu penegakan kasus pelanggaran HAM menjadi isu yang wajib dan penting bagi setiap presiden di Indonesia. Misalnya, pada masa Presiden Abdurrahman Wahid terjadi pemberlakuan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM yang undang-undang tersebut telah diresmikan oleh DPR-RI beserta presiden sebelumnya yaitu Presiden Bacharudin Jusuf Habiebie. Selain itu, ada UU Nomor 26 Tahun 2000 yang terdiri atas 10 bab dan 51 pasal tentang pengadilan HAM. Begitu pula pada masa orde baru, melalui Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993, presiden memutuskan untuk membentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Menurut survei yang dilakukan oleh Komnasham bersama Litbang KOMPAS, setidaknya ada 69.1% responden yang menginginkan Kasus pelanggaran HAM harus segera diselesaikan, dan ada 86.8% responden yang berpendapat bahwa penyelesaian kasus HAM masa lalu harus dicantumkan pada Program Kerja Jokowi-Ma’ruf Amin 2019-2024. Tentunya isu mengenai HAM pun kini menjadi pusat perhatian bagi pemerintah. Dalam penyelenggaraan kasus HAM berat saat ini menjadi janji Nawacita pada tahun 2014 Jokowi-Jk serta pada Debat Presiden 2019 antara Presiden Joko Widodo dengan Prabowo Subianto, janji akan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu terucap kembali pada debat tersebut. Setelah Presiden Joko Widodo terpilih, selanjutnya janji tersebut tertuang pada Renstra Kemenkumham 2020-2024. Tetapi ada sesuatu yang janggal mengenai penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu, Renstra Kemenkumham 2020-2024 yang di dalamnya terdapat agenda reformasi politik dan hukum, tertera bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu akan ditempuh melalui jalur non yudisial. Berarti penegakan hukum bagi korban pelanggaran HAM sulit untuk dilaksanakan karena melalui jalur non yudisial, padahal baik itu keluarga korban, sebagian masyarakat, hingga aktivis-aktivis yang peduli pada isu HAM menuntut pemerintah untuk memberikan keadilan dan penegakan hukum atas kasus-kasus tersebut.

Pembahasan
1. Indonesia dan HAM
Hak Asasi Manusia adalah Hak-Hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia dari ia lahir hingga ia meninggal. Sejatinya Indonesia sudah menjadikan perlindungan terhadap HAM tujuan utama berdirinya negara ini bahkan hal tersebut terpatri pada dasar-dasar Negara Indonesia yaitu Pancasila & UUD 1945. Menurut Nurhayati (2016) makna dari tujuan negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea ke-4, yaitu negara melindungi segenap bangsa Indonesia adalah negara wajib melindungi HAM tiap-tiap warga negaranya. Menurut Bagir Manan dalam Rawung (2017) pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap HAM di Indonesia pada hakikatnya telah terkandung pada nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, serta perundang-undangan lainnya. Bahwa HAM di Indonesia yang didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 bersifat enlightened tentang manusia. Dari penjelasan Nurhayati dan Bagir dapat disimpulkan bahwa pembentukan Negara Indonesia bertujuan untuk memperjuangkan dan melindungi hak asasi manusia setiap warga negara negaranya. Menjadi sebuah pernyataan yang sangat masuk akal bila kita mengingat kembali perjalanan sejarah bangsa ini yang tidak dapat dilepaskan dari masa-masa penjajahan, baik itu oleh bangsa barat maupun oleh bangsa Jepang. Dengan berdirinya negara ini pun harusnya terjamin pula hak kebebasan, hak mendapat perlakuan sama dimata hukum, dan hak kemerdekaan yang merupakan bagian daripada hak asasi manusia. Selain itu pada 17 Oktober 2019, Indonesia meraih suara terbanyak dalam pemilihan anggota Dewan HAM PBB periode 2020-2022 dalam Sidang Majelis Umum PBB Ke- 74. Pada pemilihan tersebut indonesia meraih 174 dari 193 negara anggota.4 Maka sudah seharusnya menjadi kewajiban dan tanggung jawab bagi Pemerintah Negara Indonesia untuk melindungi, mengakui, dan menghormati hak asasi manusia. Bila terjadi pelanggaran HAM di negeri ini dan misal pelakunya adalah oknum pemerintah atau oknum pihak berwewenang lainnya yang melakukan hal tersebut, sudah sepatutnya bagi pemerintah yang bertanggung jawab akan perlindungan HAM bertindak menegakan hukum agar terciptanya keadilan bagi korban dan juga menjadi cerminan bagi negara lain, melihat Indonesia merupakan anggota Dewan HAM PBB.


2. Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu di Indonesia
Berdasarkan Undang-undang yang ditemukan bahwa kasus kejahatan pelaggaran HAM yang terjadi diindonesia terdiri dari dua jenis kejahatan yaitu kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Salah satunya adalah kasus yang terjadi pada tahun 2012, Komnas HAM menyatakan menemukan ada pelanggaran HAM berat pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965. Kasusnya macet di Kejaksaan Agung. Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan bahwa penyelesaian peristiwa 1965 tidak dilakukan melalui jalur pengadilan namun dengan cara rekonsiliasi dengan keluarga korban.


3. Tak Kunjung Tegaknya Hukum atas Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang menjadi janji Presiden Jokowi bahkan menjadi janji pada kedua periode jabatannya, seolah tidak terlihat eksekusinya. Dikutip dari BBC News, menurut Mantan Ketua Komisi Komnas HAM periode 2016-2017, Imdadun Rahmat, periode kedua dari kepemimpinan Presiden Jokowi seolah mengalami kemunduran dan terlihat tidak mampu dalam penanganan isu HAM bila dibandingkan dengan periode pertama. Hal ini pun selars dengan hasil survei yang dilakukan oleh Komnas HAM bersama Litbang KOMPAS, yang menyebutkan bahwa publik meragukan kemampuan Pemerintah Jokowi dan Ma’ruf dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu Banyak yang berpendapat bahwa ketidakmampuan Pemerintah Jokowi dan Ma’ruf disebabkan karena berhadapan dengan kepentingan politik. Kepentingan politik yang masih diprioritaskan dibandingkan keadilan bagi korban pelanggaran HAM masih terjadi pada pemerintahan saat ini. Terbukti dengan diangkatnya Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan yang terduga terlibat pada aksi Penghilangan Aktivis 1997/1998 oleh Tim Mawar. Selain itu, ada Bambang Kristono yang duduk di DPR-RI fraksi Gerindra yang merupakan Mantan Punggawa Tim Mawar. Seperti yang tertuang pada Renstra Kemenkumham 2020-2024, Presiden Jokowi telah memformulasikan kebijakan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yaitu dengan jalur non yudisial. Sebuah penyelesaian yang dapat dikatakan bertentangan dengan penegakan hukum yang diatur oleh UU No. 26 Tahun 2000, seharusnya penyelesaian kasus HAM berat masa lalu diselesaikan dengan pengadilan HAM ad hoc yang secara konkrit penyelesaian tersebut dikategorikan sebagai penyelesaian jalur yudisial (secara hukum). Seharusnya penyelesaian melalui jalur non yudisial tidaklah bersifat substitusi atau pengganti melainkan menjadi solusi yang komplementer atau pelengkap daripada penyelesaian yang utama yaitu jalur yudisial. Karena dengan menggunakan penyelesaian jalur non yudisial akan melanggengkan impunitas bagi para pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu.


Penutup
Kesimpulan dan Saran
Sudah menjadi tanggung jawab pemerintah negara Indonesia untuk mengakui, menghargai, dan melindungi Hak Asasi Manusia warga negaranya. Bila terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia pada ruang lingkup kenegaraan sudah menjadi kewajiban pula bagi Negara Indonesia yang merupakan negara hukum untuk menegakan hukum atas kasus pelanggaran HAM. Terkaitdengan solusi kebijakan yang telah diformulasikan oleh Presiden Jokowi mengenai penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu melalui jalur non yudisial, seharusnya menjadi penyelesaian yang bersifat komplementer (pelengkap) bukan substitutif (pengganti). Karena dengan jalur non yudisial dapat melanggengkan impunitas bagi para pelaku pelanggar HAM berat masa lalu dan tidak memberi keadilan bagi para korban.

Oleh:
Muhammad Ihsan Maulana
(Mahasiswa Angkatan 2021)

Leave a Reply

https://alatberatbekasjepang.com/ https://cms.uki.ac.id/pict/spulsa/ https://bpiw.pu.go.id/uploads/demo/ https://e-learning.universitasbumigora.ac.id/local/slottoto/ https://portaltest.hubla.dephub.go.id/storage/-/ https://simawa.upnvj.ac.id/cache/app/ https://eadmin.gkjw.or.id/app/mxslot168/