Mengejar Rating: Politisasi Media Sosial Di Tengah Pandemi Covid-19

Kehadiran internet merupakan hasil kolaborasi epik antara perkembangan teknologi telekomunikasi dengan teknologi digital. Pada perjalanannya, kehadiran internet telah berhasil membawa gebrakan besar di tengah kehidupan umat manusia. Dengan teknologinya, internet memiliki andil yang besar atas perkembangan media sosial. Dewasa ini tidak bisa dipungkiri bahwa media sosial telah menjadi tempat hidup antar generasi. Tempat hidup yang dimaksud ialah bahwa saat ini media sosial seolah telah menjadi suatu gaya hidup yang membuat candu setiap penggunanya. Generasi millenial utamanya. Setengah hidup dari seorang millenial saat ini cenderung dihabiskan untuk bermedsos. Berdasarkan data survei yang diinisiasi oleh Asosiasi Penyedia Layanan Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2018, ditemukan fakta bahwasanya jumlah masyarakat Indonesia yang terhubung dengan internet bertambah dari 143,26 jiwa menjadi 171,17 juta orang di tahun 2019. Ya, dengan pesonanya media sosial mampu membuat penggunanya candu, bahkan media sosial mampu mencuci otak para penggunanya. Jadi sebetulnya apa yang dimaksud dengan media sosial?

Van Dijk (2013), dalam Nasrullah (2016: 11) mengemukakan bahwasanya “Media sosial merupakan platform media yang memiliki titik fokus pada eksistensi para penggunanya yang memfasilitasi mereka dalam beraktivitas serta ekspolasi diri. Oleh sebab itu, media sosial sebetulnya dapat ditinjau sebagai media atau fasilitator online yang berfungsi memperkuat hubungan para penggunanya sekaligus beraksi menjadi pengikat sosial”. Media sosial memiliki dam­pak dan pengaruh yang kian besar dalam gaya hidup, pola pikir dan ideologi masyarakat dewasa ini, khususnya bagi generasi millenial. Kecepatan arus penerimaan informasi komunikasi telah bertranformasi menjadi sebuah kebiasaan yang telah membudaya dan mendarah daging ditengah  masyarakat khususnya mille­nial dalam mengambil keputusan serta dalam menjalan­kan aktivitas sehari-hari.

Dinamika politik yang selalu dinamis dan kompleks memunculkan sebuah trend baru berihal polarisasi dan politisasi media sosial oleh pihak yang berkepentingan. Tujuannya adalah tidak lain tidak bukan untuk mengintervensi dan indoktrinasi publik terkait isu-isu politik yang dikembangkan dan disisipkan dalam berita-berita terkait pandemi covid-19. Tanpa sadar, isu-isu terkait pandemi covid-19 yang literaturnya kerap kita baca melalui media sosial sebetulnya telah dibumbui sedemikian rupa serta disusupi dengan propaganda-propaganda yang tanpa sadar telah memenjarakan nalar.

Bukan hanya sebuah spekulasi semata. Pengaminan atas isu tersebut telah lama dibahas, salah satunya melalui forum diskusi yang oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik Univeristas Indonesia yang diadakan pada tahun 2015 lalu yang dihadiri oleh berbagai pembicara, diantaranya Dr. Nina M. Armando (Komisioner KPI 2010-2013 dan Dosen Ilmu Komunikasi UI), Langitantyo T. Gezar (mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UI, anggota KSM Eka Prasetya UI), dan Septi Diah Prameswari, S.I.K (Divisi Kampanye dan Advokasi Remotivi). Dalam diskusi tersebut, dikemukakan fakta faktual yang berasal dari data penelitian yang dilakukan oleh Hendrato Darudoyo pada 2009 bahwa dalam temuannya, terdapat 76% dari 82 jurnalis yang bekerja di 6 media merasa pekerjaannya diintervensi oleh pemilik media. Sementara sejumlah 71% merasa bahwa keputusan konten yang telah dibuat dapat diubah oleh pengaruh pemilik media. Sebetulnya, dalam pandangan ilmu sosiologi serta para pemikir studi media, mereka seringkali menyapa hal tersebut dengan istilah framing (Goffman 1974; Hajer 1995). Istilah yang tentunya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Sebagaimana kita sama-sama tahu, framing pada pelaksanaannya tidak hanya memilih segmen realitas untuk per­hatian lebih lanjut, tetapi juga menyediakan skema penafsir­an yang digunakan orang un­tuk menemukan, memahami, mengidentifikasi, dan mem­beri label (Entman 1993).

Bahkan, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kepala Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSBPS) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) dengan judul Radikalisme di Website dan Media Sosial pada 2017 lalu, ditemukan sebuah fakta bahwa motivasi dari para pengguna media sosial untuk memproduksi, mendistribusikan, dan mengkonsumsi pesan-pesan radikal salah satunya ialah berorientasi karena ingin menjadikan akun media sosialnya sebagai media untuk mengkritisi pemerintah. Dalam studi yang sama, ditemukan pula sebuah temuan bahwa bidang politik bertengger di klasemen teratas di antara bidang-bidang lain. Artinya, bidang politik menjadi yang paling diminati oleh para pengguna media sosial untuk dikritisi.

Sekarang marilah kita pahami dan analisis berbagai konten yang populer menyeruak di tengah pandemi covid-19. Setelah menelusuri, tentu kita akan tersadar bahwa betapa banyaknya konten-konten di media sosial yang memang di politisasi atau sarat dengan sisipan propaganda-propaganda politik. Ada begitu banyak berita hoax yang bermunculan di berbagai platform media sosial yang isinya memuat konten yang seakan menjatuhkan pihak demi pihak.  Dilansir dari Liputan6.com, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) merilis data dalam rentang waktu 23 Januari 2020 hingga 12 April 2021, dari data tersebut ditemukan fakta bahwasanya terdapat 1.522 isu hoax yang beredar di media sosial. Sekarang mari kita berkilas balik, seberapa sering anda mendengar atau membaca berita yang beredar di media sosial terkait kegagalan atau blunder-blunder yang dilakukan pemerintah dalam menangani pandemi covid-19? Faktanya, ada banyak sekali berita yang beredar terkait hal tersebut yang bersliweran silih berganti di berbagai platform media sosial. Ada banyak sekali pihak yang menyalahkan serta mengolok-olok pemerintah terkait hal tersebut. Hal tersebut tentunya menyulut indoktrinasi terhadap publik dan menggiring streotip negatif dari publik kepada pemerintah. Kasus lain yang hingga saat ini masih booming diperbincangkan ialah berkaitan dengan keabsahan atau kredibilitas dari vaksin covid-19 yang masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Terdapat banyak sekali klaim dari berbagai pihak yang kontra terhadap vaksin covid-19 di Indonesia dan tidak sedikit pula pihak yang mengekspresikan hal tersebut di platform media sosial yang ujungnya kembali menggiring opini publik dan streotip negatif pada pemerintah.

Berita-berita hoax tersebut secara tidak langsung tentunya dapat meresahkan masyarakat dan lebih lanjut dapat menimbulkan dampak yang lebih besar lagi. Dimana berita tersebut jelas mampu menimbulkan gejolak sosial dan politik, seperti kasus baru-baru ini yang diungkap oleh kepolisian terkait dengan penolakan Undang-Undang Cipta Kerja yang berujung dengan kerusuhan dan anarkisme yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Padahal, dari sekian banyak pihak yang terlibat anarkisme, mayoritas mereka adalah pihak yang termakan oleh isu yang bersliweran di media sosial yang tentunya tidak dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya. Bahkan mirisnya, mereka pun belum membaca draft Undang-Undang tersebut secara keseluruhan. Hal tersebut semakin mengamini tudingan politisasi media sosial dari berbagai pihak. Media sosial dijadikan alat untuk membentuk opini publik dan dipolitisasi oleh pihak yang berkepentingan agar bisa memberi kepuasan kepada publik berupa pengaminan atas segala tudingan publik kepada pemerintah. Padahal sebetulnya, pemerintah sendiri telah memberikan klarifikasi atas isu-isu tersebut yang sebetulnya seharusnya telah bisa menjawab berbagai pertanyaan dan tudingan publik pada pemerintah. Namun sekali lagi, kekuatan dan pesona media sosial lebih kuat dibanding suara dari pemerintah itu sendiri. Publik sudah terlanjur terdoktrin oleh berbagai isu tersebut hingga tak mengindahkan pernyataan, jawaban atau klarifikasi apapun yang berasal dari pihak pemerintah. Media sosial terbukti mampu menghipnotis publik selaku penggunanya untuk menjadi hilang kepercayaan terhadap pemerintahan yang sah.

Namun sebetulnya apa yang menyulut bermunculannya berbagai macam berita hoax tersebut? Berita hoax tersebut tentunya bermunculan bukan tanpa sebab. Berita tersebut muncul berasal dari adanya problematika kepuasan publik. Streotip negatif dari publik yang sebelumnya telah terindikasi kemudian dijadikan sebuah konten di media sosial yang dibumbui isu-isu politik hingga akhirnya isu-isu tersebut menyeruak dan berkembang  menjadi sebuah propaganda. Isu yang beredar tersebut seolah menjustifikasi streotip negatif publik terhadap pemerintah. Padahal sebetulnya isu tersebut tidak jelas dari mana asalnya dan tentunya tidak dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya. Manifestasi dari berbagai berita hoax tersebut tentunya berasal dari para buzzer yang notabennya berlomba-lomba mengejar kepuasan publik atau sebutlah “mengejar rating” dengan memanfaatkan situasi dan kondisi untuk mengejar kepuasan publik sekaligus menjatuhkan citra pemerintah di mata publik.

Sekali lagi, perlu sekali ditanamkan nilai-nilai edukasi khususnya perihal literasi digital terkait pemilihan dan pemilahan konten-konten media sosial. Publik perlu dibekali dengan edukasi terkait bagaimana cara mencerna informasi atas sebuah isu yang beredar di berbagai platform media sosial dengan tidak lantas menelan segala informasi yang hadir di media sosial secara mentah-mentah.  Masih minimnya edukasi atas hal tersebut tentunya mengindikasikan pula terkait masih kurang cerdasnya para pengguna media sosial di Indonesia yang masih mudah dibodohi dengan konten hoax dari berbagai platform yang notabennya hadir menyeruak dalam rangka politisasi media sekaligus untuk “mengejar rating”.  Pesan saya, jadilah millenial pengguna media sosial yang cerdas untuk bisa memilih dan memilah serta mencerna dengan bijak terkait berbagai isu di media sosial. Karena sejatinya millenial merupakan front liner bagi negeri ini kelak. Oleh sebab itu, millenial haruslah cerdas, jangan mudah dibodohi, jangan mudah diintervensi, dan jangan mudah diprovokasi apalagi sampai bersedia ditunggangi kepentingannya

Oleh:
Destiani Putri Utami
(Mahasiswa Angkatan 2018)

Leave a Reply