(29/09/2024) Dua puluh tahun lalu, Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri mengambil langkah penting untuk melindungi lingkungan dengan membatasi eksploitasi pasir laut melalui Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2002. Langkah ini bertujuan untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah akibat aktivitas penambangan yang tidak terkelola.
Namun, situasi ini berubah ketika Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2023. Peraturan ini mengizinkan beberapa pihak untuk mengendalikan hasil sedimentasi di laut dan membuka kembali ekspor pasir laut dengan ketentuan tertentu. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara, tetapi juga menimbulkan sejumlah pertanyaan terkait dampaknya.
Setelah penerbitan peraturan tersebut, muncul penolakan dari berbagai pihak, termasuk aktivis lingkungan seperti Greenpeace dan Walhi, serta mantan Menteri KKP, Susi Pudjiastuti, dan para nelayan.
Menurut analisis dari Ronny P. Sasmita, seorang Senior Analyst di Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI), dampak dari ekspor pasir laut bisa sangat merugikan. Aktivitas ini tidak hanya berbahaya bagi lingkungan, tetapi juga dapat menghancurkan biota laut, yang pada gilirannya akan menurunkan potensi ekonomi perikanan dan kelautan. Jika Indonesia menjual pasir secara mentah, negara ini akan kehilangan potensi pendapatan tambahan. Lebih jauh lagi, menjual pasir ke negara lain, seperti Singapura, dapat memperluas wilayah daratan negara tersebut dan berdampak pada kedaulatan serta teritorial Indonesia.