“Kehati-hatian adalah dari Allah dan tergesa-gesa adalah dari setan.”
Kalimat di atas adalah hadits riwayat Baihaqi. Coba deh, cermati kalimat di atas. “Kehati-hatian itu datangnya dari Allah”. Sementara “tergesa-gesa” dari Setan sumbernya. Makanya saat menerima satu informasi di gadget kamu, jangan langsung percaya, jangan langsung ngegas. Tarik nafas dulu, amati lagi, buat pertimbangan, berdoa, baru putuskan.
Kata “ta`anni” dalam hadits ini punya arti lain, yakni “membiasakan diri untuk klarifikasi”. Ini artinya, kalau kamu nerima sati informasi, cek dulu bener nggaknya. Kata ‘ta’ani’ juga berarti memeriksa diri, “apakah ini bermanfaat buatku? Atau “Apakah ini baik buatku?” baru setelah jawabannya benar-benar didapatkan, boleh deh informasi itu disebar ulang. Kecuali kalau kita mau jadi budaknya syetan.
Disiplin untuk ta’ani dilakukan juga lho oleh Rasulullah. Ini ada kisah menarik. Suatu ketika Ma’iz bin Malik datang menghadap nabi untuk disucikan karena telah berzina, Nabi tak menerima informasi itu secara mentah-mentah. Beliau menyuruh Ma’iz kembali, “Pulanglah ke rumahmu dan beristighfarlah kepada Allah Subhanahu Wata’ala!”.
Ma’iz pulang ke rumahnya. Tak seberapa lama kemudian dia balik lagi menghadap Rasulullah. Rupanya, hati Ma’iz tidak tenang. Jawaban Rasulullah pun masih sama. Ma’iz pulang pergi sampai empat kali.Saat menghadap yang keempat kali Rasulullah bertanya, “Kamu mau aku sucikan dari apa?”
“Sucikanlah saya! SAya telah berbuat zina dengan si Pulanah pada hari anu jam sekian!”, ujar Maiz dengan menghiba. Ia ingin disucikan dari perbuatan zina. Jawaban itu pun belum langsung ditanggapi oleh Rasulullah
“Apakah waktu itu kamu sedang tidak sadar? Gila?”, Tanya Rasulullah.
“Tidak!” jawab Ma’iz, “saya sadar seratus persen!”
“Atau kamu mabuk karena khamr?”
“Tidak juga,” jawab Ma’iz
“Baikalah kalau begitu,” ujar Nabi. Hukuman pun ditetapkan kepada Ma’iz.
Nah, ta’ani dalam arti tak tergesa-gesa, menenangkan diri dulu, membiarkan semuanya jernih dulu, baru berkomentar inilah yang kamu perlukan dalam menghadapi serangan hoax. Dalam dunia penelitian, ta’ani ini disebut juga epoche. Artinya “menempatkan dalam kurung” gejala pikiran yang kita miliki.
Edmund
Husserl pemilik teori epoche ini. Husserl meyakini bahwa kesadaran kita
selalu terarah kepada kesadaran – akan – sesuatu. Istilah ilmiahnya
intensionalitas. Bagi Husserl ketika, kita melihat suatu fenomena akan selalu
ada suatu konsepsi atas fenomena itu. Misalnya ketika, kita menerima berita
hoax tentang SARA yang menyudutkan keburukan etnis tertentu. Kita pasti
cenderung memiliki prasangka buruk saat bertemu dengan salah seorang etnis
tersebut di jalan. Dalam kadar terburuk kita bisa saja melakukan tindakan
persekusi (menganiaya atau menyiksa).
Apa yang harus dilakukan?
Epoche jawabannya
Agar bisa menahan kecenderungan intensionalitas itu, kita harus melakukan epoche (memberi kurung). Saat kita menerima satu informasi, kita perlu memberi kurung informasi tersebut. sembari memberi kurung, kita harus menguji kebenaran tersebut. Menguji kebenaran berita tersebut dapat dengan membandingkan informasi lain melalui internet, menanyakan kepada orang yang dianggap tahu, mencarinya melalui media massa, ataupun media sosial.
Epoche ini pernah dilakukan oleh Nabi Sulaeman juga lho. Ingat nggak cerita burung Hud-hud. Saat ditanya oleh Nabi Sulaeman, “kemana saja?” Burung Hud-hud menceritakan tentang negeri Saba. Nabi Sulaeman tak langsung menerima mentah-mentah informasi itu. “Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta.” (QS. An-Naml [27]: 27).
Meng-epoche berarti tidak tergesa-gesa membenarkan satu informasi, tidak tergesa-gesa mengirimkan sembarang informasi pada orang lain. Kenapa? Karena “tergesa-gesa itu maunya Syetan”, sementara “memeriksa, menimbang-nimbang, mencari kebenaran bukti” atas informasi itu maunya Allah. Maumu yang mana? Apa kamu mau Syetan ketawa-ketiwi, atau Allah menyayangimu?
Oleh : Livia D Saputra
Mahasiswa Angkatan 2016 Administrasi Publik UIN SGD Bandung