Hari-hari ini warganet Indonesia dihebohkan dengan adanya peraturan pajak ini.
Pada 22 Januari 2021 lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/PMK.03/2021 tentang Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak Penghasilan atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer.
Beleid ini mulai berlaku pada 1 Februari 2021. Dengan pemberlakuan ini, maka tanggapan yang mengemuka di masyarakat adalah mereka sebagai konsumen akhir akan merogoh koceknya lebih dalam untuk membayar pulsa, kartu perdana, token, dan voucer. Apakah benar seperti itu?
Di dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ada istilah “negative list”. Istilah ini berarti daftar barang atau jasa yang tidak dikenakan PPN.
Sederhananya semua barang atau jasa yang diperjualbelikan itu kena PPN kecuali yang ada di dalam daftar itu. Pulsa, kartu perdana, token, dan voucer tidak ada di dalam negative list. Artinya ke semuanya merupakan barang kena pajak dan kena PPN. Aturan ini sudah lama ada. Harga yang kita bayarkan selama ini sudah termasuk PPN di dalamnya.
Kecuali untuk listrik. Listrik merupakan barang kena pajak tertentu bersifat strategis dan dalam batas tertentu tidak dikenakan PPN. Listrik untuk konsumsi rumah tangga dengan daya di atas 6600 watt baru dikenakan PPN. Sekarang ceklah daya listrik di rumah masing-masing. Sudahkah di atas 6600 watt? Kalau belum, berarti tidak kena PPN. Lalu pengenaan atas token itu bagaimana? Nah, jadi begini ceritanya. Kita akan bahas satu per satu keempatnya itu.
Pulsa dan Kartu Perdana
Dalam bisnis penjualan pulsa dan kartu perdana, ada banyak distributor di antara operator telekomunikasi seluler dan masyarakat konsumen akhir.
Distributor pertama adalah mereka yang mendapatkan pulsa dan kartu perdana dari operator. Distributor Kedua, mereka yang mendapatkan pulsa dan kartu perdana dari distributor pertama. Distributor selanjutnya (pengecer) yang mendapatkan pulsa dan kartu perdana dari distributor kedua.
Peraturan teranyar Menteri Keuangan di atas mengatur kalau distributor pertama memungut PPN dari distributor kedua, distributor kedua memungut PPN dari distributor selanjutnya (pengecer). Pengecer tidak perlu memungut PPN lagi dari masyarakat dengan demikian tak ada pungutan PPN di setiap rantai.
PMK ini menyederhanakan pemungutan PPN dalam penjualan pulsa dan kartu perdana, sehingga jelas tidak ada jenis dan objek pajak baru, konsumen juga tak mengeluarkan tambahan uang saat membeli keduanya.
Token Listrik
Listrik termasuk barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis. Listrik dikenakan PPN jika pemakaian dayanya di atas 6600 watt. Kurang dari itu tidak kena PPN.
Ketika kita membayar tagihan listrik melalui bank atau marketplace, kita dipungut biaya administrasi (Fee). Biayanya berkisar dari Rp2.000,00 sampai Rp2.500,00. Tidak ada PPN atas listrik di sana. Fee yang diterima oleh bank ataupun marketplace itulah merupakan objek PPN. PPN dikenakan atas biaya administrasi tersebut. Bank ataupun marketplace harus membayar PPN atas jasa itu kepada negara.
Begitupula ketika kita membeli token listrik dari distributor token. Tidak ada PPN yang dipungut di sana. Distributor token hanya memungut fee atau biaya administrasi dari masyarakat.
Biaya administrasi atau fee atau nilai lebih yang dipungut dari konsumen atau apapun namanya itu yang diterima oleh distributor token merupakan objek PPN dan harus dipungut PPN. Distributor token harus membayar PPN kepada negara sebesar 10%.
Masyarakat tidak membayar PPN sama sekali atas token yang dibelinya.
Voucer
Pemungutan PPN atas voucer juga hampir sama dengan token. PPN dikenakan atas imbalan atau komisi atau fee yang diterima oleh distributor voucer dari penyelenggara voucer.
Contohnya begini. Anton membeli voucer permainan (game) di Tokomaret. Tokomaret tidak memungut PPN kepada Anton atas pembelian voucer permainan itu. Tokomaret mendapatkan imbalan dari penyelenggara voucer. Imbalan itu yang akan dipungut PPN. Jelas di sini, Anton sebagai pembeli voucer di Tokomaret tidak dipungut PPN.
Anton baru kena PPN ketika menukarkan voucer di Google (contohnya) yang menjual permainan itu melalui aplikasi Google Playstore.
Penerbitan PMK terbaru ini memangkas pajak berganda, supaya Anton tidak bayar PPN dua kali. Sebelum PMK ini terbit, Anton harus bayar PPN ketika belanja di Tokomaret dan ketika menukarkan voucernya di Google Playstore. Google ikut memungut PPN juga.
Ingat, di tahun lalu (pada 2020) ada kewajiban pemungutan PPN atas produk digital oleh pelaku usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Supaya tidak kena pajak berganda, PMK ini keluar.
PPN dikenakan atas jasa pemasaran voucer itu berupa komisi atau imbalan atau fee yang diterima oleh distributor voucer, bukan atas nilai voucernya. Voucer di sini diperlakukan sebagai alat pembayaran, sama dengan uang yang memang tidak terutang PPN.
Begitulah adanya PMK ini. Kita perlu membaca dengan saksama peraturan tersebut dan tidak bisa menyimpulkan terburu-buru hanya dari judul PMK itu saja.
Semoga mencerahkan.
Source: Direktorat Jendral Pajak (pajak.go.id), 31/Jan/2021