Meninjau Program Makan Bergizi Gratis (MBG): Dasar Hukum, Tata Kelola, dan Tantangan Implementasi

Open Discussion Ahli Muda Bersama Reyhan Farika (Direktur LKDM UIN BDG)
– Bandung, 7 November 2025

Pada tanggal 7 November 2025, Tim Ahli Pertama dari Lembaga Analisis dan Advokasi Kebijakan Publik (LA2KP) menyelenggarakan diskusi terbuka bertema “Meninjau Program Makan Bergizi Gratis (MBG): Dasar Hukum, Tata Kelola, dan Tantangan Implementasi”. Kegiatan ini membahas pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis yang menjadi salah satu prioritas Presiden Prabowo Subianto, dengan meninjau aspek hukum, mekanisme pelaksanaan, serta koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu program prioritas Presiden Prabowo Subianto yang bertujuan memperkuat ketahanan gizi dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Program ini diluncurkan secara nasional pada 6 Januari 2025 melalui Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024 tentang Pembentukan Badan Gizi Nasional (BGN). Lembaga ini diberi tanggung jawab untuk mengoordinasikan pelaksanaan program di seluruh 514 kabupaten dan kota di Indonesia.

Dalam diskusi, beberapa peserta menilai bahwa meskipun tujuan program ini baik, dasar hukumnya masih belum kuat. Pembentukan BGN melalui peraturan presiden menimbulkan pertanyaan dari sisi hukum, karena kedudukan peraturan presiden berada di bawah undang-undang. Kondisi ini dianggap dapat menimbulkan ketidakseimbangan antara kewenangan eksekutif dan legislatif, serta menimbulkan persoalan legitimasi kelembagaan. Ada pandangan bahwa kebijakan ini dapat dilihat sebagai bentuk diskresi pemerintah untuk mempercepat penanganan gizi nasional, namun tetap perlu disertai batasan hukum yang jelas dan sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

Dari sisi pelaksanaan, aspek transparansi menjadi perhatian utama. Beberapa lembaga masyarakat sipil seperti ICW, JPPI, FIAN Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia, Transparency International Indonesia, dan Suara Ibu Peduli menilai bahwa pelaksanaan MBG masih kurang terbuka dan belum melibatkan publik secara memadai. Berdasarkan temuan JPPI, sekitar 70 persen sekolah yang menjadi sasaran program belum menerima informasi resmi mengenai jadwal maupun standar menu gizi. Dalam beberapa kasus, perjanjian kerja sama antara sekolah dan BGN tidak memuat rincian tanggung jawab, sementara publikasi data penerima belum diperbolehkan. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh mana prinsip keterbukaan dan akuntabilitas diterapkan dalam pelaksanaan program.

Ombudsman RI juga mencatat sejumlah kendala dalam pelaksanaan MBG, seperti perbedaan antara target dan realisasi program, penetapan mitra penyedia yang kurang transparan, serta keterbatasan sumber daya manusia di lapangan. Selain itu, pengawasan mutu makanan masih lemah dan belum sepenuhnya mengikuti standar keamanan pangan seperti Acceptance Quality Limit (AQL) dan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). Beberapa kasus keracunan di sekolah menunjukkan perlunya perbaikan sistem pengawasan dan peningkatan kualitas bahan pangan yang digunakan.

Pelaksanaan program MBG menunjukkan kecenderungan kebijakan yang masih terpusat. Pemerintah pusat menetapkan arah kebijakan, anggaran, serta standar pelaksanaan, sedangkan pemerintah daerah berperan dalam tahap implementasi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, urusan gizi dan kesehatan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan daerah (urusan konkuren). Namun, dalam pelaksanaannya, pembagian kewenangan antara kedua tingkat pemerintahan tersebut belum diatur secara rinci dalam Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024. Kondisi ini membuat koordinasi dan pelaksanaan di lapangan masih menghadapi sejumlah kendala, terutama dalam hal penyesuaian kebijakan pusat dengan kapasitas daerah.

Secara umum, diskusi ini menekankan bahwa keberhasilan program Makan Bergizi Gratis tidak hanya bergantung pada besarnya anggaran, tetapi juga pada kejelasan dasar hukum, keterbukaan informasi, dan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah. Diperlukan penguatan aspek hukum, peningkatan transparansi, serta kerja sama yang lebih baik antarinstansi agar program ini dapat berjalan dengan lebih terarah dan memberikan manfaat bagi perbaikan gizi dan pendidikan anak di Indonesia.

Pengurus Ahli Pertama Lembaga Analisis dan Advokasi Kebijakan Publik Periode 2025

Leave a Reply