PENDAHULUAN
Kejahatan menjadi salah satu gejala sosial yang merugikan serta berdampak buruk kepada korban. Menurut Paul Mudigdo Moeliono (1987), kejahatan merupakan perbuatan pelanggaran norma yang merugikan dan menjengkelkan sehingga harus ada norma hukum pidana disertai ancaman hukuman agar kejahatan tersebut tidak semakin berkembang. Tindakan kekerasan seksual menjadi salah satu bentuk perilaku kejahatan yang kian kini menjadi marak diindonesia. Seperti yang kita ketahui bahwa isu-isu kekerasanseksual sudah sering publik dengar dan lihat di berbagai media terutama media elektronik, namun hal tersebut tidak menjamin korban akan mendapatkan keadilan dan proses hukum yang cepat terkait perbuatan yang telah diterimanya. Begitu pula terhadap predator kekerasan seksual yang tetap berani melakukan perbuatan buruknya walaupun akan sangat berpeluang jika berita tersebut akan cepat tersebar kepada publik. Tindakan Kekerasan seksual bukan hanya terjadi pada kota besar saja melainkan juga terjadi di pedesaan yang sebagaimana kita ketahui biasanya adat istiadatnya masih terjaga dengan baik. Kasus kekerasan seksual bukan terjadi di kehudpuan personal saja, namun kini terjadi di dunia pendidikan bahkan institusi keagamaan. Oleh karena itu, korban merasa semakin terdiskriminasi karena usia maupun relasi kuasa antara mahasiswa, murid, dan atau santri dengan dosen atau guru. Korban biasanya akan takut untuk melapor karena tidak merasa berkuasa terlebih pelaku yang memiliki otoritas dan wewenang. Memang kekerasan seksual tidak mengenal gender dan umur karena telah terdapat beberapa kasus bahwa orang dewasa, remaja, anak-anak, perempuan, maupun laki-laki pernah mengalami hal tersebut. Namun, pada kenyataannya dapat dikatakan bahwa perempuan yang menjadi mayoritas korban. Fakta tersebut didukung oleh laporan hasil survei analisis WHO di 161 negara pada tahun 2000-2018 yang mengungkapkan bahwa sepertiga perempuan di dunia, atau sekitar 736 juta pernah mengalami kekerasan fisik maupun seksual. Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) terdapat belasan ribu kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan sepanjang tahun 2021. Terdapat kurang lebih dari 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan dimana 15,2% adalah kekerasan seksual dan 45,1% dari 14.517 kasus kekerasan terhadap anak adalah kekerasan seksual. Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani juga menyebutkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan hingga mencapai 4.500 kasus hingga September 2021 dibandingkan tahun 2020. Ironisnya, sebagian besar korban kekerasan seksual tidak mendapatkan pemulihan dari dampak kekerasan seksual yang dialami dan terkadang keadilan yang kurang memihak pada korban. Hambatan yang sering ditemui korban antara lain terkait peraturan perundang-undangan yang belum cukup melindungi, cara kerja aparat penegak hukum yang kurang responsif, sistem hukum pidana yang tidak menyatu dengan pemulihan korban, bahkan adanya budaya mempersalahkan korban sehingga membuat korban merasa takut dan malu untuk melaporkan. Berdasarkan data yang telah diperoleh di atas maka dapat dijadikan indikasi bahwa isu-isu kekerasan seksual khususnya kekerasan seksual pada perempuan telah menjadi fenomena gunung es sehingga hal tersebut membuktikan bahwa kebijakan pemerintah dalam menangani isu kekerasan seksual terutama dalam hal perlindungan hukumnya di Indonesia masih lemah. Jika dilihat dari sisi hukum yang berlaku saat ini, esensi hukum terhadap kekerasan seksual memang sudah ada. Namun secara substansi, hukum yang telah ada masih terbatas dan diatur dalam beberapa peraturan yang terpisah. Hukum materiil terkait kekerasan seksual secara umum sudah diatur dalam Bab XIV KUHP terkait kejahatan kesusilaan. Selain itu ada pula UU No. 23 Tahun 2004 tentang KDRT yang mengandung ancaman sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan seksual di lingkup rumah tangga dan ada UU No. 23 Tahun 2002 yang telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak dari kejahatan seksual. Namun sayangnya, secara hukum formil belum diatur terkait perlindungan korban dan penanganan khusus korban, padahal sudah seharusnya korban menjadi prioritas yang berhak mendapatkan perlindungan saat proses penegakan hukum. Adanya RUU PKS (Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual) yang diusung oleh Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan (FPL) menjadi harapan terciptanya paradigma baru dalam menjamin masyarakat bebas dari kekerasan seksual serta lebih memperhatikan hak korban. Setelah mengamati RUU tersebut sejak proses pembentukan pada tahun 2016, Presiden Joko Widodo mendukung RUU tersebut. Ia memerintahkan Menkumham dan Menteri PPPA untuk melakukan koordinasi dengan DPR agar ada langkah percepatan disahkannya RUU tersebut karena kasus kekerasan seksual semakin beragam dan meningkat sehingga upaya penanggulangan melalui kebijakan yang tepat oleh pemerintah menjadi hal yang mendesak karena negara memiliki tanggung jawab untuk memberi perlindungan dan kesejahteraan masyarakat menyangkut kekerasan seksual mulai dari pencegahan sampai penanganan khusus korban. Berdasarkan latar belakang tersebut terdapat beberapa topik yang menjadi fokus kajian penulis antara lain (1) Bagaimana kebijakan penanganan kasus kekerasan seksual yang telah diterapkan di Indonesia? (2) Menganalisis urgensi RUU PKS serta upaya atau langkah kebijakan yang dapat pemerintah ambil untuk menanggulangi kasus kekerasan seksual.
PEMBAHASAN
A. Kebijakan penal dan non-penal
Kebijakan disebut sebagai upaya penanggulangan suatu tindakan kejahatan yang berkembang di suatu masyarakat merupakan alat perlindungan dan kesejahteraan masyarakat dari segala halyang menghalangi serta berdampak buruk terhadap stabilitas kehidupan. Oleh karena itu, perumusan kebijakan menjadi tahap yang penting sebagai bentuk usaha pemerintah melakukan campur tangan terhadap pemecahan suatu masalah pada kehidupan publik. Terdapat tahapan dalam merumuskan kebijakan antara lain : (1) merumuskan masalah, (2)
melakukan agenda kebijakan, (3) memilih kebijakan alternatif terhadap suatu masalah, (4) menetapkan kebijakan yang memiliki kekuatan hukum seperti berbentuk UU, keputusan presiden, keputusan menteri,yurisprudensi, dan lain-lain. Sejatinya, hukum tidak dapat dipisahkan dari kebijakan karena pada dasarnya suatu kebijakan publik harus dilegalisasikan dalam bentuk hukum, maka dapat dikatakan bahwa hukum menjadi salah satu produk kebijakan publik. Terdapat dua macam jenis kebijakan yang dapat menjadi upaya penanganan kejahatan yaitu kebijakan penal (penal policy) dan kebijakan non-penal. Kebijakan penal merupakan bentuk kebijakan penanggulangan kejahatan yang menitikberatkan terhadap tindakan represif. Sementara kebijakan non-penal adalah proses penanggulangan kejahatan yang menitikberatkan pada tindakan pencegahan atau sebelum kejahatan terjadi sebagai usaha untuk memengaruhi pandangan masyarakat terkait kejahatan dan pemidanaan lewat media massa. Dalam menanggulangi tindakn kejahatan dilakukan melalui kebijakan penal (hukum pidana) menjadi bagian dari kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal dikenal sebagai keseluruhan asas serta alternatif dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana.
Tujuan kebijakan tersebut adalah untuk memberi perlindungan dalam rangka mencapai kesejahteraan publik dalam keputusan pidana yang telah dilegalkan melalui peraturan perundang-undangan yang hingga saat ini menjadi dasar kepastian hukum dalam melakukan pemecahan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan. Selain itu, kebijakan jenis ini berkaitan dengan asas danmetode dasar dari reaksi pelanggaran hukum yang berupa hukum pidana, serta keseluruhan fungsi dan cara kerja dari aparatur penegak hukum, yang meliputi seluruh kebijakan dengan tujuan guna menegakkan norma-norma sentral yang berada di masyarakat. Adapun Jenis kebijakan lainnya ialah kebijakan non-penal yang merupakan upaya penanggulangan kejahatan dengan tidak melakukan hukum pidana dan bersifat preventif. Biasanya meliputi kegiatan guna memperbaiki kesalahan yang ada dalam masyarakat atau adanya pengawasan tertentu dari suatu kejahatan. Selain itu dapat juga berbentuk seperti sosialisasi terhadap suatu perundang-undangan yang baru.
B. Kekerasan Seksual
Definisi kekerasan seksual sebagaimana yang tercantum pada World Report on Violence and Health 2002 adalah “any sexual act, attempt to obtain a sexual act, unwanted sexual comments or advances, or acts to traffic, or otherwise directed, against a person’s sexuality using coercion, by any person regardless of their relationship to the victim,in any setting, including but not limited to home and work.” Berdasarkan definisi tersebut, WHO menyatakan bahwa kekerasan seksual tidak sebatas tindak pemerkosaan secara fisik dan paksaan terhadap kemaluan wanita atau bagian tubuh lain, atau suatu benda, namun juga meliputi tindakan lainnya dalam bentuk bentuk daripenyerangan, seperti pemaksaan sentuhan antara mulut dan penis, kemaluan wanita atau anus. Ada 15 jenis kekerasan seksual yang dijelaskan menurut Komnas Perempuan, dari hasil pemantauan selama 15 tahun seperti tindakan pemerkosaan, intimidasi seksual termasuk percobaan dan ancaman perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perdagangan perempuan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan,pemaksaan aborsi, pemaksaan alat kontrasepsi, penyiksaan seksual, penghukuman bernuansa seksual, praktik tradisi bernuansa seksual, dan kontrol seksual termasuk lewat aturan diskriminatif berkedok moralitas dan agama. Tindakan kejahatan kekerasan seksual saat ini semakin meluas dan dipercaya telah menimbulkan efek traumatik yang sangat besar terhadap korban yang membuat korban tidak bisa menjalani kehidupan normal kembali. Sehingga sudah pasti tindakan tersebutmerupakan pelanggaran HAM. Kekerasan seksual kerap terjadi kepada perempuan karena adapandangan bahwa perempuan menjadi objek seksualitas yang erat hubungannya dengan seks dan kekerasan. Sehingga dari tindakan seks akan dilahirkan pula kekerasan seperti pemerkosaan, pelecehan seksual, prostitusi atau penjualan anak perempuan, serta kekerasan oleh pasangan. Faktanya sampai saat ini ternyata tindak kekerasan seksual pun terjadi pada laki-laki dalam berbagai bentuk dan terjadi di berbagai tempat seperti di tempat kerja, di penjara, di tempat penahanan polisi, dan sebagainya. Tindak kekerasan seksual terhadap pria justru tidak sering dilaporkan karena merasa takut, bingung, serta malu terhadap stigma atau pandangan masyarakat terkait maskulinitas pria yang sering disamakan dengan kemampuan menggunakan kekuatan. Teringat isu terjadinya kekerasan seksual. akhir-akhir ini ramai pula diperbincangkan bahwa kekerasan seksual juga marak terjadi di lingkungan pendidikan. Sepanjang tahun 2020, kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan umum yang berbasis agama masih sering terjadi. Pihak komisi nasional perempuan telah menunjukkan bukti-bukti terhadap pengaduan kasus kekerasan seksual dari sejumlah wilayah di Indonesia termasuk laporan kekerasan seksual yang dilakukan oleh senior organisasi, dosen, dan keluarga/pengurus lembaga pendidikan. Sehingga dari fakta tersebut menunjukkan bahwa ternyata lingkungan pendidikan tidak menjamin keamanan sebagai tempat belajar anak didik. Hal tersebut menunjukkan bahwa sekolah sudah bukan lagi menjadi tempat aman padahal seharusnya tempat pendidikan berupa sekolah, kampus, pesantren dan sebagainya harus menjadi tempat paling aman dan nyaman agar tercipta suasana kondusif. Berikut ini beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah pendidikan, antara lain :
1. Pelecehan seksual di Universitas Wahid Hasyim Semarang. Seorang mahasiswi mengalami pelecehan seksual dari rekan organisasi
2. Pencabulan enam mahasiswi oleh dosen pembimbing di Univeritas Palangkaraya.
3. Pemerkosaan mahasiswi kedokteran oleh pejabat kepolisian sekaligus dosen di Universitas Halu Oleo Kendari.
4. Pemerkosaan belasan santri hingga hamil oleh oknum guru sekaligus pimpinan Madani Boarding School Bandung.
C. Analisis Kebijakan Penangananan Kasus Kekerasan Seksual yang Diterapkan di Indonesia
Pemerintah merupakan aktor penyelenggara negara sehingga memiliki tanggung jawab penuh atas perlindungan publik. Maraknya isu kekerasan seksual menjadi ancaman keamanan masyarakat karena tindakan kejahatan tersebut menimbulkan dampak serius bagi korban seperti trauma berkepanjangan yang membuat hidupnya tidak lagi sama. Oleh sebab itu, pemerintah harus mengambil langkah tingkat ekslusivitasnya terhadap kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi persoalan yang berkembang di masyarakat agar kejahatan tersebut bisa segera ditekan. Kebijakan pemerintah dalam menangani kasus kekerasan seksual dapat ditinjau dari sisi kebijakan tindakan kriminal yang meliputi kebijakan penal (hukum pidana) dan kebijakan non-penal (nonhukumpidana). Upaya penanganan kejahatan kekerasan melalui kebijakan penal dilakukan lewat pembuatan perundang-undangan. Sebelumnya harus diperjelas terlebih dahulu mengenai garisgaris kebijakan hukum pidana terkait kekerasan seksual secara lebih lengkap. Garis kebijakan hukum tersebut meliputi antara lain : Keputusan terkait ketentuan pidana apakah harus diubah atau sebaiknya tidak, langkah pencegahan tindak pidana, serta mengenai metode penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana. Pemerintah telah mengatur perundangundangan mengenai kekerasan seksual salah satunya adalah UU PKDRT, pada pasal 46, 47, dan 48 terdapat aturan sanksi pidana bagi pelaku kekerasan seksual di lingkup rumah tangga Pemerintah juga telah menyikapi terkait tindakan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) No. 30 Tahun 2021 yang secara khusus mengatur tentang Pencegahan dan Penangan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan kampus. Peraturan Menteri tersebut adalah sebagai payung hukum bagi korban kekerasan seksual di kampus karena belum ada peraturan hukum yang secara spesifik tertuju pada korban di lingkungan kampus. Terdapat beberapa alasan mengapa Permendikbud No. 30 Tahun 2021 sangat tepat untuk diberlakukan yaitu karena kekosongan atas perlindungan anak diatas 18 tahun yang , belum menikah, serta tidak terjerat pada circle perdagangan manusia yang undang-undangnya telah ada pada UU PKDRT dan UU Perlindungan Anak sehingga tidak bisa berpegang pada kedua hukum tersebut. Selain itu. adanya keterbatasan penanganan kasus kekerasan seksual jika hanya menggunakan UU KUHP seperti tidak adanya sarana khusus kepada korban serta kekerasan seksual berbasis online tidak tertuang dalam KUHP. Padahal civitas akademika dan tenaga pendidikan dapat dikatakan sebagai pengguna aktif perangkat digital sehingga bentukbentuk kekerasan seksual secara verbal non-fisik berbasis digital berkesempatan besar terjadi. Melalui Permendikbud No. 30 Tahun 2021 akan mampu menciptakan fasilitas pendidikan yang aman karena telah ada kepastian hukum bagi pemimpin perguruan tinggi untuk bisa mengambil langkah tegas. Selain itu, aturan tersebut merupakan sarana kolaborasi antara kementerian dan seluruh kampus untuk menciptakan budaya akademik yang sehat dan berakhlak mulia karena terkandung edukasi soal isu kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
Berdasarkan perundang-undangan yang telah ditetapkan tersebut, dapat dikatakan bahwa pengaturan hukum di Indonesia sudah menuju ke arah perlindungan namun masih terbatas. Aturan hukum yang ada belum cukup dijadikan tindakan penanganan kekerasan seksual karena berbagai bentuk yang terasuk sebagai tindak pidana kekerasan seksual belum tercakup. Langkah baik untuk menambah UU yang diperlukan dalam rangka memperbaiki kebijakan pemerintah yang telah ada agar penanganan isu kekerasan seksual berjalan maksimal, Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan (FPL) merancang RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) yang diubah nama menjadi RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual). RUU tersebut dinilai dapat menjadi seperangkat ketentuan hukum yang dapat menjamin hak-hak para korban karena selain mencakup tindak pidana sebagian besar bentuk kekerasan seksual yang tidak terdapat dalam UU KUHP tentang kejahatan terhadap kesusilaan, RUU tersebut memerhatikan pula penanganan sampai pemulihan korban secara maksimal. Sehingga, korban disini diharapkan bisa sembuh dari traumatik akibat perlakuan tersebut supaya bisa menjalani kehidupan dengan lebih baik. Namun sayangnya walaupun RUU PKS telah lama diperjuangkan sejak 2016 sampai sekarang belum juga disahkan. Padahal, lonjakan kasus kekerasan seksual bukan hanya sekadar fiksi bahkan sudah menjadi pandemi di Indonesia. Untuk itu, pemerintah harus segera mengesahkan RUU tersebut untuk melindungi para korban serta masyarakat lainnya dari ancaman kekerasan seksual. Perlindungan korban melalui kebijakan/perundangan-undangan seharusnya menjadi persoalan dan perhatian yang lebih dalam penanggulangan kekerasan seksual karena walaupun pelaku telah mendapatkan hukuman namun hal tersebut belum mampu menyembuhkan trauma para korban. Perlu ada fasilitas seperti perawatan psikolog, perawatan dokter, dan sebagainya yang menjadi hak korban sebagai upaya pemulihan. Kebijakan perlindungan hukum terhadap korban masih minim seperti adanya kesulitan untuk membuktikan bahwa ia korban kekerasan seksual, proses peradilan yang lama sehingga kasus tersebut semakin terhambat bahkan tidak dilanjutkan, serta korban malah kembali dituntut oleh pelaku dengan tuntutan pencemaran nama baik apalagi jika pelaku memiliki kuasa lebih dibandingkan korban.
Jenis kebijakan kriminal yang tak kalah penting selanjutnya adalah kebijakan non-penal (non-hukum pidana). Seyogyanya, kebijakan ini dilakukan dengan menanggulangi berbagai faktor kondusif yang menjadi penyebab terjadinya tindak kekerasan seksual. Hal tersebut juga bersesuaian dengan pernyataan di Kongres PBB mengenai “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” terkait penghapusan segala penyebab dan kondisi timbulnya kejahatan harus menjadi dasar untuk melakukan pencegahan kejahatan. Sayangnya, kebijakan jenis ini masih belum maksimal diterapkan di pemerintahan indonesia padahal melalui pencegahan awal dapat menekan laju tindak kekerasan seksual sehingga lembaga pemerintahan harus menjalin kolaborasi dalam membuat kebijakan yang bersifat preventif. Usaha-usaha dalam hal pencegahan dan perlindungan korban harus dilakukan seperti melalui :
1. Kemendikbud dan Kemenag menambahkan edukasi terkait kesehatan reproduksi dan seksualitas ke dalam kurikulum pendidikan, dimana dalam penyusunan materi dikategorikan ke dalam usia dini sampai remaja. Salah satu faktor mengapa kekerasan seksual marak terjadi adalah karena kurangnya sex education. Sehingga dengan adanya pendidikan tersebut maka publik akan lebih aware terhadap kesehatan reproduksi dan menghindari sex bebas.
2. Sosialisasi kepada masyarakat terkait rancangan perundang-undangan terkait kekerasan seksual agar publik bisa menilai serta mendukung RUU tersebut apabila merasa yakin dapat memperbaiki kebijakan pemerintah terkait penanggulangan kekerasan seksual. Selain itu, sosialisasi dapat menjadi wadah tukar pikiran jika ada hal yang kurang jelas pada RUU tersebut.
3. Kementerian dan Lembaga harus memerhatikan pula terkait sensitivitas kebutuhan khusus kelompok rentan, penyandang disabilitas atau kelompok minoritas lainnya dalam hal penyusunan informasi dan mekanisme layanan agar memiliki kemudahan untuk mendapat hak keamanan dan perlindungan yang sama.
4. Memberikan informasi secara berkelanjutan melalui digital platform atau media massa lainnya terkait cara-cara apa saja yang dapat dilakukan masyarakat apabila menemukan bentuk kekerasan seksual di berbagai tempat khususnya tempat umum dengan tetap menjamin keamanan saksi dan korban, karena menurut data penelitian L’oreal paris bersama IPSOS pada januari 2021 bahwa 91% orang yang melihat kasus tersebut tidak melakukan apapun karena bingung harus berbuat apa.
PENUTUP
Isu kekerasan seksual merupakan tindak kejahatan yang mengancam masyarakat akhirakhir ini. Berita terkait kejahatan tersebut nampaknya belum usai justru semakin banyak dan bentuk kekerasan seksual yang terjadi semakin berkembang. Pemerintah tentu telah mengambil beberapa kebijakan sebagai upaya penanganan tindakan kekerasan seksual melalui kebijakan formal berbentuk perundang-undangan hukum pidana seperti UU PKDRT, UU KUHP tentang kejahatan terhadap kesusilaan, serta UU perlindungan. Namun kebijakan tersebut belum cukup menjadi payung hukum bagi para korban karena masih banyak bentuk kekerasan seksual yang tidak diatur di dalamnya. Selain itu, belum diatur pula hak korban untuk mendapatkan fasilitas pemulihan atas penyembuhan traumanya. Nadiem Makarim selaku Mendikbud dengan mengeluarkan Permendibud No. 30 tahun 2021 tentang PPKS menjadi langkah maju pemerintah dalam menangani kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Oleh karena itu pemerintah tetap harus memikirkan langkah perbaikan atau peningkatan kebijakan yang harus
segera diambil seperti dengan mengesahkan RUU TPKS yang sejak 2016 telah diusulkan namun berkali-kali gagal masuk prolegnas. Isi RUU tersebut selain mencakup beberapa jenis kekerasan seksual, penanganan korban untuk pemulihan pun ada pada RUU tersebut sehingga penanganan kekerasan seksual di Indonesia akan semakin maksimal. Selain melalui kebijakan formal, pemerintah juga harus mengoptimalkan kebijakan preventif atau yang disebut juga kebijakan non-penal melalui sosialisasi, penambahan kurikulum pendidikan terkait kesehatan reproduksi dan seksualitas, edukasi terhadap masyarakat, dan lain sebagainya. Tindakan preventif tentu sangat penting dalam menekan laju kasus kekerasan seksual karena sebagai dasar penanganan kejahatan. Kekerasan seksual sudah menjadi pandemi di Indonesia oleh sebab itu, pemerintah harus tanggap dan serius untuk menangani isu tersebut melalui kebijakan yang dihasilkan sebagai bentuk rasa tanggung jawab atas perlindungan dan keamanan publik.
Oleh:
Diella Jauza
(Mahasiswa Angkatan 2019)